Galau.. Tak Siap Menjalani Kehidupan

Tags

, , , , , , ,

Tumbuh dan berkembang adalah sebuah keniscayaan, tidak bisa dihindari. Kecil jadi besar, anak-anak jadi dewasa, dan hidup menuju kematian, itulah kepastian. Sayang, terkadang kita semua lalai menapaki kehidupan dengan torehan tinta kebaikan, terbuai dengan kesenggangan dan lupa meraih mimpi yang diharapkan, “Kan masih ada besok” menjadi alasan klasik untuk menunda pekerjaan.

Kebiasaan buruk inilah yang membuat banyak diantara kita yang tidak bisa mempersiapkan masa depannya dengan baik. Ketika sadar, ternyata ia sudah menginjak usia matang, dewasa. Padahal sepertinya baru kemarin anak-anak, eh sekarang sudah mau punya anak. Waktu pun terbuang sia-sia tanpa persiapan bekal memadai.

Setiap orang pasti pernah mengalaminya, lalai memanfaatkan waktu. Seperti kemarin saat seorang sahabat mengirim sebuah pesan singkat..

“Saya ngerasa tertekan menjalani kehidupan nih. Ngerasa nggak siap aja dengan tanggung jawab yang semakin besar”. Saya sih kemudian menjawab semau saya saja, “Kehidupan ini kan Allah yang atur sedemikian rupa, jadi apapun yang terjadi sekarang, kita pasti bisa menghadapinya. Semua sudah Allah perhitungkan”.

Coba jika sebelumnya sudah disiapkan untuk menghadapi masa sekarang, seharusnya ia tidak akan merasa tertekan. Kemungkinan hari-hari sebelumnya sering bersantai dan kurang persiapan.

Atau ada juga sahabat lain yang galau dengan masalah jodohnya.

“Pengen kembali ke masa-masa belasan tahun..” bunyi pesannya, “Masa dimana nggak ada beban yang berat”

“Emang kenapa?” tanyaku penasaran.

“Iya mas, baru sadar ternyata sekarang udah 24 tahun, masa yang sudah seharusnya bisa hidup mandiri dan harus segera memikirkan masa depan, termasuk masalah jodoh”

“Namanya juga hidup, tumbuh dan berkembang itu kepastian, semua orang mengalaminya” jawabku, “Jalanin aja masa sekarang sebaik-baiknya”

“Tapi terkadang takut untuk menikah, takut salah pilih. Menikah itu kan bukan untuk sebulan dua bulan, kalau bisa untuk selamanya. Nah kalau salah pilih kan bisa berabe

“Mintalah petunjuk sama Allah, Dia yang mengetahui rahasia langit dan bumi”

“Iya mas..”

“Kalau memang sudah siap menikah, ya menikah saja” jawabku lagi.

“Saya sudah banyak membaca buku-buku pernikahan dan ta’aruf mas, tapi semakin saya membaca, saya kok malah semakin yakin bahwa saya belum siap ya. Ngerasa belum settle

Ya, kemapanan adalah alasan utama yang sering digunakan untuk menunda pernikahan. Terutama orang tua si perempuan, jika yang datang adalah lelaki dengan pekerjaan yang masih serabutan, maka kemungkinan besar akan di tolak. Padahal, jikapun saat ini si lelaki sudah mapan, apakah ada yang bisa menjamin seminggu kemudian semua harta dan kemapanan itu masih ada? Tidak ada kan yang bisa menjamin?

“Terus kalau menunggu siap, kapan dong siapnya? Seharusnya kan persiapan itu sudah dilakukan dari dulu” pancingku, “Toh kan kamu sekarang sudah sarjana, masa untuk mencari sejuta dua juta sebulan nggak bisa?”

Dia diam, lama sms ku tak berbalas. “Menikah itu kan ibadah, jadi wajar kalau setan senantiasa membisikkan keraguan dan was-was ke hati manusia yang ingin menikah. Kan jelas tuh di Al Quran, surat An Nas, dialah (setan) yang membisikkan rasa was-was di hati manusia” ujarku melanjutkan.

“Iya mas, makasih ya. Semoga aja saya dan mas segera diberikan jodoh yang sesuai dan bisa menapaki kehidupan ke depan menjadi lebih baik dengan pasangan masing-masing”

“Amin. Yang penting teruslah berbenah. Karena persiapan menjemput jodoh yang baik adalah senantiasa berbenah menjadi lebih baik”

“Siap mas. Terimakasih”

“Yup, sama-sama”

Sebuah kepastian bahwa semakin kesini, tanggung jawab yang akan kita emban menjadi semakin besar. Maka persiapkan diri mulai dari sekarang. Tidak ada kata terlambat. Teringat akan sebuah nasihat dari seorang kawan, “Bro, setiap orang pasti akan mengalami satu titik tersukses dalam hidupnya, maka sebelum titik itu datang, persiapkan diri dari sekarang”

 

Jadi sebelum titik tersukses kita datang, yuk terus bersiap diri!

SYAIFUL HADI.

 

Cinta Itu Adalah…

Cinta, lima huruf ini adalah sebuah kata yang ajaib. Kalau Anna Althafunnisa dalam film KCB, saya lupa redaksi pastinya, “Cinta itu adalah perasaan yang bisa membuat si sakit jadi sembuh, penjara jadi syurga, atau setan jadi malaikat”. Lain lagi jika kita menanyakan cinta kepada penyanyi Malaysia di era 90an, “Jika benar cinta itu buta.. butakah hatiku? Berkali terluka masih juga, ku menunggu”, katanya, cinta itu buta.

Kalau kata Amir Khan, dalam film 3 Idiots, “Jatuh cinta itu adalah saat kamu melihat bulan dan bulan terasa semakin mendekat, terlihat lebih besar, kemudian angin akan bertiup sepoi-sepoi”. Nah kalau kata penyanyi dangdut itu, cinta itu ingat doi terus, “Mau makan teringat padamu.. mau tidur teringat pada.. dimanapun teringat padamu.. kekasihku..”. Setiap orang yang ditanya tentang cinta, maka akan menjawab dengan jawaban yang berbeda.

Tapi kabarnya cinta itu nggak bisa didefinisikan. Katanya juga, cinta itu nggak ada di kamus besar bahasa Indonesia (iya nggak sih?). Malah kata seorang ulama yang menekuni masalah cinta ini, “Cinta itu tidak bisa diartikan, semakin kamu mengartikan cinta maka semakin jelas bahwa kamu tidak memahami cinta yang sebenarnya” katanya, “Mengartikan cinta, hanya akan mempersempit saja makna cinta yang sesungguhnya”. Jadi ya nggak usah repot-repot lah mengartikan cinta itu apa, nikmati dan rasakan saja.

Tapi mungkin sudah kebiasaan orang luar sana kali ya, melakukan hal-hal unik dan menarik, makanya mereka pun melakukan penelitian untuk menemukan arti cinta yang sesungguhnya. Saya mendengar di acara Hitam Putihnya Trans 7, bahwa di Inggris pernah dilakukan penelitian tentang arti cinta yang sebenarnya. Tapi uniknya penelitian ini bukan dilakukan pada orang-orang yang sedang kasmaran, melainkan pada anak-anak. Apakah arti cinta menurut kalian? Dan muncullah beragam jawaban yang tentu saja menarik.

“Cinta itu adalah saat kakek mengecat kuku nenek”

“Cinta itu adalah saat ayah menyuapi ibu yang sedang sakit”

“Cinta itu adalah saat ayah dan ibu pulang tepat waktu”

“Cinta itu adalah saat ayah menjemputku di sekolah”

“Cinta itu adalah saat ayah dan ibu hadir dalam pentas seni ku”

Dan masih banyak lagi jawaban unik lainnya. Tapi saya menyimpulkan satu hal, bahwa cinta itu adalah pekerjaan. Mengapa? Karena sebagian besar jawaban anak-anak polos itu adalah kata kerja, mengecat kuku, menyuapi, hadir ke pertunjukan seni, menjemput di sekolah, dan pulang tepat waktu.

Cinta juga, menurut anak-anak itu, adalah sebuah kata yang harus dibuktikan. Tidak ada cinta jika tidak pernah dibuktikan dalam tindakan nyata di keseharian. Entahlah, saya sendiri nggak mau sibuk-sibuk ngartiin cinta itu apa. Karena setiap manusia pasti memiliki arti masing-masing tentang cinta ini.

 

So, apa arti cinta menurut mu? 

*Tulisan ini bukan menganjurkan anda pacaran, karena bagi saya pembuktian cinta itu ada setelah menikah.. 

 

Ini Penelitian Tindakan Kelas ku

.:: Peta Konsep Anak Bangsa ::.

Oleh: Anton

Mind Mapping atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep yang ditemukan oleh Tony Buzan. Konsep ini didasarkan pada cara kerja otak kita menyimpan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otak kita tidak menyimpan informasi dalam kotak-kotak sel saraf yang terjejer rapi melainkan dikumpulkan pada sel-sel saraf yang berbercabang-cabang yang apabila dilihat sekilas akan tampak seperti cabang-cabang pohon.

View original post 455 more words

Perokok Susah Berkurban

Tags

, ,

“Saya kan orang miskin” ujar bapak setengah baya itu, “Makanya saya jarang melakukan ibadah yang pakai uang, apalagi membeli kambing untuk berkurban, lah wong untuk makan setiap bulan aja saya bingung” sambil menghisap rokoknya dalam-dalam ketika saya menyampaikan nasihat tentang pentingnya berkurban.

Teringat perkataan salah seorang dosen saya dahulu, “Sebagian besar orang Indonesia yang merokok adalah orang miskin. Karena stress akibat pendapatan bulanannya yang minim, maka ia lampiaskan dengan merokok”. Terlepas dari serius atau nggaknya perkataan dosen saya itu, tapi bisa diperhatikan memang ada benarnya juga, bahwa sebagian besar orang miskin merokok.

Saya perhatikan bapak yang mengaku miskin itu, rokok yang dihisapnya memang bukan rokok berkelas, hanya rokok merk abal-abal dengan harga yang saya prediksi nggak menyentuh angka lima ribu rupiah. Namun semurah apapun rokok itu, tetaplah uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain keluarganya.

Kita hitung ringan saja lah, jika harga rokok itu 3ribu rupiah dan bapak itu menghabiskan dua bungkus sehari (perokok malah biasanya lebih dari dua bungkus sehari loh), maka dalam sehari saja ia harus mengeluarkan uang untuk rokok sebanyak 6ribu rupiah. Jika dalam satu bulan ada 30 hari, maka 180ribu sebulan hilang sia-sia. Angkanya memang nggak fantastik, tapi untuk orang miskin yang penghasilan per bulannya nggak sampai satu juta, itu angka yang banyak, 18 persen dari 1 juta.

Sekarang coba berandai-andai, jika si bapak nggak merokok dan menyisihkan uang 6ribu itu untuk ditabung, maka dalam sebulan ia sudah menabung 180ribu. Dan dalam waktu 8 bulan ke depan, ia sudah bisa mengumpulkan uang untuk membeli satu ekor hewan kurban. Sedikit demi sedikit, lama-lama akan menjadi gunung.

Maka jika anda menghabiskan uang lebih dari 6ribu sehari untuk rokok tapi kemudian ngaku-ngaku nggak mampu untuk berkurban, maka alasan anda nggak bisa diterima. Untuk merokok yang merusak diri sendiri aja anda mampu, masa berkurban yang notabenenya untuk kebaikan dunia dan akhirat anda bilang nggak mampu! Aneh.

Belajar Menulis dari Son Goku

Tags

, , , , ,

Saya termasuk yang suka dengan film kungfu. Film kungfu pertama yang membuat saya takjub adalah Mortal Kombat di tahun 90an. Saya menontonnya ketika masih duduk di bangku SD. Film ini menceritakan pertarungan hidup dan mati beberapa petarung kelas satu, kalau nggak salah begitu ceritanya. Kemudian secara terus menerus saya menyukai serial kartun Dragon Ball, koleksi film Jacki Chan, Jetli, dan masih banyak lagi.

Serial kartun Dragon Ball bahkan hingga kini masih sering ku tonton. Tentu kalian tahu pemeran utamanya, Son Goku. Dia seorang yang gemar bertarung. Bahkan ketika musuh yang datang jauh lebih kuat, bukannya ketakutan, ia malah sangat senang dan antusias. Musuh yang kuat akan menjadi ujian sekuat apa ia sekarang. Son Goku termotivasi untuk melebihi kekuatannya. Tentu dengan sering berlatih, biasanya di ruang anti gravitasi.

Ya, dengan berlatih akhirnya sekuat apapun musuh yang dihadapi pasti bisa dikalahkan. Jadi kunci keberhasilannya adalah berlatih. Sebanyak apapun kita mengetahui jurus-jurus kungfu, tidak akan ada gunanya jika tidak sering dilatih.

Dalam menulis, hal yang sama juga berlaku. Mungkin anda sudah tahu bahwa menulis yang baik itu adalah seperti ini dan itu. Tapi jika anda tidak pernah berlatih menulis maka anda tidak akan pernah bisa menulis sampai kapanpun. Anda bisa mendapatkan keahlian menulis biasanya justru karena sering latihan menulis, bukan karena membaca sekumpulan teori tanpa praktek. Nggak ada gunanya membaca buku ini dan itu tentang menulis jika toh anda nggak pernah sekalipun mencoba untuk membuat tulisan.

Bagaimana latihan yang baik? tentu setiap orang memiliki metode masing-masing dan tidak mungkin sama satu dan lainnya. Tapi sedikit tips dari saya, pertama, buatlah outline tulisan yang akan anda buat. Outline akan sangat membantu jika tulisan anda tidak selesai dalam sekejap dan butuh beberapa hari. Misal, anda akan menulis Woman Trafficking. Maka outlinenya bisa berupa pengertian woman trafficking, penyebabnya, efeknya, pencegahan, dan solusi yang ditawarkan. Outline itu hak anda! Anda bebas mau menulis apapun.

Kedua, setelah outline jadi, maka mulailah menulis sedikit demi sedikit saja, mulai dengan satu hari satu paragraph saja. Memang sedikit, tapi dalam satu minggu akan jadi tujuh paragraph dan satu tulisan bermutu sudah tercipta.

Ketiga, sambil menulis perkaya referensi, bisa nanya kesana-kemari sama Om Google yang serba tahu, melempar isu di twitter dan facebook, atau diskusi dengan teman-teman dan guru, dan sebagainya. Jika referensi sudah banyak, anda bisa menulis sebuah tulisan yang baru dengan sudut pandang anda.

Nah, mumpung sekarang hari minggu, libur, maka berlatih lah menulis. Semakin sering anda latihan menulis, maka andapun akan semakin hebat.

Selamat Pagi!

Mahalnya Menuruti Gengsi Pribadi

Tags

, , , , , ,

Gengsi itu mahal dan boros! Nggak percaya, sekarang perhatikan saja kehidupan di sekitar anda! Berapa banyak orang yang punya gadget canggih tapi tidak digunakan maksimal. Makanya sering kita denger kalimat seperti ini “Pinteran gadgetnya dari pada orangnya” untuk orang-orang yang punya smart phone tapi hanya dipakai dua hal, sms dan telpon saja, atau “Yang penting itu siapa orang di balik kamera itu, bukan kameranya” untuk orang-orang yang suka potograpi.

Karena hal inilah kemudian saya mengagumi seseorang yang hingga kini masih memiliki hape jadul, bukan karena tidak mampu membeli hape canggih dan baru, tapi karena memang dia nggak butuh. “Selama ini saya cuma memakainya untuk sms dan telpon mas, jadi buat apa hape bagus-bagus” begitu katanya kepada ku.

Sedangkan saya? Sudah dua kali saya harus membayar mahal gengsi saya. Pertama saat saya kuliah dan memutuskan membeli laptop baru. Waktu itu memang antara butuh dan gengsi saja. Kalau dibilang butuh, sebenarnya ngerjain tugas di warnet juga bisa. Tapi kalau nggak punya, temen-temen udah pada punya semua.

Akhirnya sayapun kalah oleh gengsi dan membeli laptop ACER dengan harga nyaris 7 juta. Senang? Tentu saja, karena saya menjadi mahasiswa yang memiliki laptop paling canggih kala itu. Hehehe.. Tapi secanggih apapun laptop saya waktu itu, saya tidak maksimal menggunakannya, nyaris hanya saya gunakan untuk mengetik, power point, dan nonton film. Just it! Nggak lebih! Dan saya harus membayar 7 juta.

Laptop itu bertahan 4 tahun tanpa mengahsilkan apapun. Tidak ada tulisan dan buku yang tercipta. Paling cuma tugas akhir kuliah saja.

Kasus kedua, saat saya kalah oleh gengsi adalah ketika saya memutuskan membeli hape dengan harga 3 juta namun saya benar-benar menggunakannya untuk telpon, sms, dan ndengerin musik saja. kalau cuma untuk itu, hape yang 1 juta juga cukup. Tapi itulah, gengsi memang mahal.

Kini, jika anda semua sedang berniat ingin membeli hape, laptop, kamera, atau gadget lainnya, maka pertimbangkanlah kebutuhan, bukan gengsi. Jika butuhnya hanya untuk mengetik maka mending beli netbook yang kecil dan ringan seperti punya saya sekarang. Jika ingin beli hape dan butuhnya hanya untuk sms dan telpon saja, maka 1 juta pun cukup. Sedangkan jika anda ingin beli kamera DSLR dan masih pemula, buat apa beli yang mahal-mahal? Bukan kah ada yang untuk pemula?

Sekarang semua terserah anda, uang nya toh uang anda, jadi ya tinggal pilih, mau beli sesuai kebutuhan atau mau memenuhi gengsi anda. Andalah yang memutuskan!

Selamat Pagi dan Salam Ukhuwah, Syaiful Hadi.

Kadang Ada yang Lebih Berharga daripada Hanya Beberapa Lembar Rupiah

Tags

, , , , , , , ,

Beberapa hari ini siswa ku, kelas 5 dan kelas 6 berkali-kali dan setiap hari mendatangiku, “Pak, kapan kami les matematika, Pak?”

Tambahan pelajaran ini adalah keinginan mereka, bukan keinginanku! Tapi bukannya aku tidak mau, hanya takut mengganggu aktivitas bermain mereka saja. tapi ternyata mereka lah yang meminta. Mereka ingin belajar bersama ku dan meninggalkan aktivitas bermain mereka sejenak!

Aneh, tumben anak-anak semangat sekali untuk belajar! Padahal waktu saya sekolah dulu, males banget kalau disuruh belajar, apalagi les! Bukan kah lebih mengasikkan ngegames dari pada belajar? Kalau pun saya datang les, itu karena ada pacar saya saja.. hehehe.. Gumamku. Sudah disuruh les aja saya sering bolos datang, eh ini siswa ku malah minta les! Kan aneh!

Atau mungkin mereka mulai sadar bahwa kemampuan mereka sangat rendah dalam pelajaran Matematika. Sebenarnya bukan karena kemampuan mereka yang tidak bagus, tapi lebih kepada kebiasaan guru kelas rendah mereka dulu yang jarang masuk kelas dan hanya meninggalkan tugas atau catatan saja tanpa menjelaskannya. Akibatnya, di kelas tinggi sekarang, mereka kewalahan mengikuti materi yang kuajarkan.

“Baik, kalau gitu kelas lima lesnya hari Senin dan Rabu. Nah kalau kelas 6 les nya hari Selasa dan Kamis”

“Jam berape, Pak?”

“Ehmm.. kalau jam 2 bise keh? Kalak baliknye jam setengah 4!” ujarku sambil mengikuti Bahasa Melayu Kalimantan mereka.

“Biseeeeee..” ujar mereka hampir serentak. Raut wajah mereka sumringah, senang karena akhirnya bisa les dengan ku.

Les pertama mereka mulai berjalan minggu ini. Mereka antusias! Saya bilang jam 2 masuknya, tapi mereka datang jauh lebih awal, akibatnya saya tidak bisa istirahat sejenakpun! Tapi saya menikmatinya! Nanti saat saya kembali ke Bogor, momen seperti ini akan menjadi kenangan tersendiri dalam hidup ku.

*****

Hari ini seorang guru mendatangiku ketika sedang memasukkan nilai Latihan dan Pekerjaan Rumah anak-anak.

“Lagi ngapain pak Syaiful??”

“Eh ini, lagi memasukkan nilai anak-anak” jawabku, “Nilai latihan dan PR..”

Dia mendekati dan melihat-lihat beberapa buku siswa di meja ku, “Rajin banget nih, Pak!”

“Iya Bu.. kasihan kan kalau anak-anak sudah kita kasih latihan dan PR tapi kita nggak menilainya, lagi pula ini juga untuk tabungan nilai mereka nanti kalau nilai mereka jelek di ujian”

Raut wajahnya berubah, mungkin dia tersindir. Biarlah. Tapi begitulah fenomena guru di negeri kita, sering sekali Penilaian Berbasis Kelas (PBK) nya tidak dijalankan dengan baik. anak-anak diberi latihan, tugas, PR, atau apalah namanya, tapi guru tidak memberikan nilai. Atau kalaupun diberikan nilai, tidak didokumentasikan dengan baik, bukan?

“Oh iya, Pak Syaiful ngasih les ke anak-anak ya?”

“Iya Bu.. kemarin les anak kelas 6, hari ini les anak kelas 5”

Dia sedikit mendekat dan mengecilkan volumenya suaranya, agak berbisik ia berkata “Gratis, Pak? Nggak dibayar? Kok mau sih, Pak?”

Aku cuma tersenyum, “Saya kan cuma tinggal beberapa bulan lagi di sini, Bu. Bulan 2 tahun depan saya sudah akan kembali ke Bogor. Jadi di sisa waktu yang ada, saya ingin berbuat sesuatu untuk anak-anak. Mudah-mudahan dengan tambahan pelajaran ini, Matematika mereka menjadi lebih baik”

Cuma itu yang bisa saya katakan ke guru itu. Bisa saja saya bilang “Emang semua harus dinilai dengan uang ya, Bu? Bagi saya, melihat senyum ceria anak-anak itu sudah menjadi kepuasan tersendiri yang jauh lebih berharga dari hanya beberapa lembar rupiah! Bagi saya, sebuah anggukan isyarat bahwa ia mengerti tentang pelajaran yang saya sampaikan sudah cukup!”

Tapi semua urung saya ucapkan, saya simpan rapi saja di hati. Saya berhusnudzon, “mungkin saja selama ini gaji dari ia mengajar memang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarganya”.

“Tapi dia PNS loh Syaiful!!” Bisik syetan di dada ku.

“Eh sudah-sudah, nggak boleh su’udzon!!”

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI

Aku Ingin Jadi Presiden, Biar Mama Nggak Melacur Lagi

Tags

, , , , , , , ,

Suasana kelas riuh, ramai.  Hampir semua mata tertuju ke satu arah, titik tengah kelas. Seorang anak lelaki berdiri di atas meja, tangan kanannya menggenggam sebuah buku tulis yang digulung bak mic dan diarahkan ke arah mulutnya. Di pojok belakang, seorang anak hanya diam, tidak larut jingkrak-jingkrak seperti yang lain.

Meja di tengah ruangan dinaiki bocah lelaki dan dijadikan panggung konsernya, sedangkan anak-anak yang lain adalah penonton sekaligus fans setianya. Bocah yang menjadi pusat perhatian bernyanyi dan bergaya seperti Pasha ungu, artis kesayangannya.

..Kau sangka aku akan menyerah

Kau sangka aku akan pasrah

Dirimu tak pedulikan aku

Walau cinta hanya untukmu

Walau kasih hanya untukmu

Walau sayang hanya untukmu

Untukmu, untukmu, untukmu..

“Yei.. yei..” teriak anak-anak yang lain. Sungguh ramai kelas ini. Nyaris semua ikut berteriak-teriak girang, kecuali seorang bocah manis di pojok ruangan, di kursi paling belakang. Saking riuhnya, bocah-bocah mungil itu tidak menyadari kalau seorang guru muda, guru magang dari Universitas Swasta di bilangan Jakarta sudah berdiri di depan. Ini hari pertamanya magang di SD yang ada di bilangan Parung, Bogor.

“Mereka benar-benar menggemaskan..” gumam si guru magang. Si guru tidak menegur tapi malah memperhatikan sejenak polah anak-anak didiknya.

Hingga ada sepasang mata yang menyadari kehadirannya, “Eh.. udah-udah, ada guru baru tuh..” teriaknya. Konser kelas yang tadinya riuh, sekarang perlahan tapi pasti menyepi dan berhenti. Si Pasha Ungu turun dari panggung miliknya dan kini duduk manis, malu.

“Assalamu’alaikum anak-anak!!”

“Wa’alaikumsalam bu guru..” serentak.

“Apa kabar hari ini??”

“Alhamdulillah baik, Bu..” Serempak lagi.

“Aih nggak seru kalo jawabannya begitu” ujar bu guru, “Sekarang, kalau ibu tanya apa kabar anak-anak, kalian jawabnya.. Alhamdulillah, pikiran ku” Sambil menunjuk kepala masing-masing dengan dua telunjuk tangannya, “Tubuhku..” sambil menyedekapkan kedua tangan di dada, Hatiku..” sambil menggenggam tangan kanan masing-masing di letakkan di jantungnya, “Fresh.. fresh.. fresh.. Dahsyat!!!”

“Bisa??”

“Bisa bu..”

“Kita coba ya..” bu guru tersenyum, manis sekali, “Apa kabar anak-anak??”

“Alhamdulillah, pikiranku, tubuhku, hatiku, fresh.. fresh.. fresh.. dahsyat!!”

“Nah begitu dong.. kita harus selalu semangat setiap pagi dan setiap hari ya sayang..”

Setelah itu bu guru memperkenalkan dirinya, Nevi Dian Vilantie. Nevi menjelaskan bahwa ia adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang melaksanakan praktek lapang. Ia akan belajar mengajar di SD ini selama sebulan ke depan.

“Nah ibu kan sudah memperkenalkan diri, sekarang giliran kalian ya sayang memperkenal diri masing-masing..” Nevi memberi instruksi, “Sebutkan nama dan cita-citanya.. Baik sayang, kita mulai dari yang paling kanan ibu ya” Nevi menunjuk ke satu arah, “Iya, kamu sayang.. silakan.. yang keras ya suaranya..”

Bergiliran satu-satu bocah mungil itu memperkenal diri masing-masing dan menyebutkan cita-citanya. “Saya ingin jadi dokter”, atau “saya ingin jadi guru”, atau “saya ingin jadi pemain bola”, dan lainnya, cita-cita umum kebanyakan anak-anak Indonesia.

Tiba giliran di tengah ruangan kelas, “Saya ingin jadi penyanyi bu..” ujar si Pasha Ungu yang tadi menjadi perhatian kelas.

“Bagus.. Amiin..” ujar Nevi.

Sampai juga giliran si bocah manis, perempuan mungil yang sedari tadi diam tak bersuara. Murung, tapi sebenarnya wajahnya manis sekali.

“Nama saya Vivi bu, saya ingin jadi Presiden..”

“Hahaha…” kompak semua anak yang lain tertawa, meremehkan.

“Eh nggak boleh begitu ya sayang, kita hargai semua cita-cita teman-teman kita. Yuk amin bareng-bareng..”

“Aaamiiin..” kompak.

“Vivi kenapa ingin jadi presiden?” Nevi terusik dengan cita-cita yang paling berbeda dibandingkan dengan anak yang lain.

“Biar cepet kaya bu.. biar mama nggak selalu berangkat kerja malem dan pulang pagi. Vivi ingin kayak anak-anak yang lain, Bu, kalau tidur sama mama, didongengin, dimanja, dan disayang..”

DEG!! Tertohok sekali Nevi mendengar ocehan bocah manis itu.

*****

Saat istirahat di kantor, Nevi menceritakan pengalaman pertamanya masuk di kelas Satu B barusan, termasuk menceritakan perihal Vivi ke guru lainnya.

“Eh bu, Vivi itu anak seorang PSK di daerah Parung ini..” ujar salah satu guru senior.

“Iya bu, benar.. semua guru juga sudah tau itu..” ujar guru yang lain mengiyakan. Seketika tubuh Nevi lemas, merinding membayangkan kehidupan salah satu siswanya.

Sekarang Vivi masih kecil, jelas tidak mengetahui pasti jenis pekerjaan yang dilakoni sang mama, Ia hanya tahu mamanya bekerja keras tiap malam dan pulang pagi dengan dandanan yang memang menggoda. Vivi tidak tahu bahwa mamanya meneteskan keringat kenikmatan, berlendir, dan mendesah-desah memuaskan nafsu si hidung belang hampir tiap malam. tapi semua itu dilakukan atas nama cinta, cinta kepada anaknya, Vivi.

“Vivi nggak ingin mama jadi pelacur!!”

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI.

Malam Pertama, Indahnya Menahan Saat Berbuka Penuh Kejutan

Tags

, , , , , , ,

Malam itu, tubuh Arman masih lelah. Bagian pinggang hingga lehernya serasa kaku dan pegal-pegal semua. Bagaimana tidak, Ia baru saja tiba dari Kalimantan Barat satu jam yang lalu. Perjalanan yang baru saja dilaluinya dari pelosok Kalimantan Barat hingga ke kota Bengkulu memakan waktu nyaris seharian penuh.

Nggak terbayang deh jika ditempuhnya pakai kapal laut. Naik pesawat aja capeknya begini, apalagi naik kapal yang memakan waktu berhari-hari, gumamnya. Seandainya bisa memilih, tentu Arman lebih suka berada di atas kasur empuk untuk meluruskan tulang-tulang punggungnya. Tapi, Ia urung melakukannya. Besok ia sudah harus melanjutkan perjalanan ke kampungnya, Kab. Mukomuko, enam jam dari kota Bangkulu. Malam inilah waktu baginya untuk sekedar nongkrong bersama sahabat lamanya.

Ditemani rembulan dan ratusan bintang di langit malam, Ia dan beberapa sahabat SMA nya bernolgia di Pantai Panjang, Bengkulu. Ada Soni, wahid, dan Nezi.

“Cak mano kabar bini samo anak kau, Son? Anak kau lah pacak ngomong yo kini? (gimana kabar istri mu, Son? Anakmu udah bisa ngomong ya sekarang?)”

“Alhamdulillah baik Bang” Jawab Soni singkat, “Aih anak ambo tuh masih umur limo bulan bang, belum pacak ngomong lah (Aih.. anak ku tuh baru lima bulan bang, ya belum bisa ngomong lah)” Walau usia mereka sebaya, namun Arman memang biasa dipanggil Abang oleh teman-temannya.

“Anaknyo Wahid tuh Bang yang udah pacak ngomong, cerewet nian nyo (anaknya wahid tuh bang yang sudah bica ngomong, cerewet banget anaknya)” Nezi menimpali sambil menghisap sebatang Rokok miliknya.

“Siapo dulu gaeknyo cik, Nurwahid!! (Siapa dulu orang tua, Nurwahid!!)” Bangga.

“Tinggal kito lah, Zi yang belum menikah. Menikmati kebebasan!” ujar Arman berusaha berdamai dengan hatinya.

“Eits.. kito?? Kau ajo kali bang!! Hahaha” Nezi tidak terima, “Kalau lancar bulan depan ambo jugo nak nikah Bang! Oia, iko nah undangannyo, dari pado lupo, mending ambo kasih sekarang ajo ke kalian” Nezi membagikan undangan ke tiga sahabatnya.

“Eh.. samo siapo? Masih samo Niken anak IPA 1 yang dulu tuh?”

“Yoyoi bang..”

“Barokallah bro.. Barokallah..” hati Arman semakin kecut. Padahal dulu ketika SMA, empat sekawan ini mengira Arman lah yang akan menikah duluan. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Dua teman karibnya sudah memiliki buah hati yang menggemaskan, satu yang lain bulan depan akan menyusul. Ah, begitulah jodoh, tidak ada yang tahu.

“Kau tuh lah bang.. Sibuk ajo ngurusin orang-orang Dayak di pedalaman Kalimantan sano. Kerjo terus sampe lupo belum nikah.. hahaha” mereka tertawa.

“Sial!”

Malam mulai merangkak naik dan Pantai Panjang semakin ramai oleh motor-motor yang berseliweran kesana-kemari. Sepasang sejoli selalu berpelukan mesra di atas roda dua yang lewat di hadapan mereka. Mencari tempat yang agak semak dan gelap. Entahlah apa yang mereka lakukan disana.

“Arman, kau ingek dak kek Nevi? (Arman, kau ingat sama Nevi nggak?) Adik kelas kau SMP dulu, yang sekolah di SMK N 4 Kota Bengkulu?” tiba-tiba Wahid ingat sesosok perempuan yang mungkin cocok buat Arman.

“Ingek.. ngapo Hid?”

“Kito main ke rumah nyo lah, mumpung belum terlalu malam”

Langsung saja, dua kendaraan roda dua mereka meluncur di Jalanan Suprapto, Bengkulu. Lurus saja hingga simpang SKIP dan berbelok ke kiri menuju Sawah Lebar. Walau sudah hampir tiga tahun ditinggalkan, Bengkulu tidak banyak perubahan.

Tiba di sebuah rumah mungil di bilangan Sawah Lebar, Bengkulu. “Assalamu’alaikum.. “ sambil mengetok pintu.

“Wa’alaikumsalam..” pintu terbuka, “Eh kak Wahid, masuk lah kak”

Empat sahabat karib itu masuk ke dalam rumah sederhana dan duduk di depan TV. Hanya itulah ruang tamu, bercampur dengan ruang keluarga. “Dwi, kok sepi? Mano ayuk Nevi?”

“Ayuk Nevi lagi keluar bentar samo gaek beli martabak cak nyo”

“Wah kebetulan nih perut laper.. hehehe” Soni bercanda. Arman yang belum pernah sekalipun ke rumah ini, lebih banyak diam. Ia perhatikan sekeliling rumah, sederhana, tidak ada yang mewah.

Tak beberalama lama, “Assalamu’alaikum.. eh ada tamu toh? Kebetulan nih nevi baru aja beli makanan” ujar Ibunda Nevi.

Subhanalloh.. Ini nevi? Kok sekarang berubah? Cantik sekali dia.. padahal dulu nggak begini deh! Atau aku saja ya yang nggak pernah memperhatikan? Dada Arman bergemuruh, melihat sesosok anggun masuk, tubuhnya tinggi semampai, berbusana gamis merah dan jilbab yang menjuntai dengan warna senada. Astaghfirulloh hal ‘adzim, Arman memalingkan wajahnya ke arah lain.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul dan martabak habis, serta waktu juga yang sudah larut. Keempat sahabat ini kemudian pamit.

Di perjalanan, di atas roda dua yang dikendarai wahid, Arman lebih banyak diam, melamun. Wajah anggun Nevi masih saja membayanginya. Ia masih tak percaya dengan perubahan drastis yang terjadi pada adik kelasnya. Dulu Arman tidak pernah mau melirik ke Nevi, bukan karena tidak cantik, tapi karena busana ketat yang selalu menempel di tubuhnya. Perempuan dengan busana ketat bukan tipe Arman. “Gue nggak rela tubuh istri gue dinikmati sama mata banyak orang bro, gue cemburu” bagitu kata Arman, dulu, ketika sahabatnya bertanya mengapa tidak bisa jatuh cinta sama perempuan berbaju ketat?

“Cak mano Man, Nevi cantik kan?” Wahid membuyarkan lamunannya.

“Eh.. apo, Hid?” Arman tidak mendengar pertanyaan Wahid, suara motor dan angin yang menerpa telinganya serta lamunannya membuat ia tidak fokus mendengar suara Wahid.

“Nevi cantikkan?” Wahid mengulangi pertanyaannya lebih singkat.

“Ya iya lah, masa ganteng..”

“Ambo tau kok selera kau cak mano.. dari dulu kan kau suko nyo kek perempuan yang pakaiannya kayak karung, besar-besar dan longgar-longgar” Kedua sahabat itu tertawa masih di atas motor kesayangan Wahid.

*****

Dua bulan kemudian, di sebuah kamar pengantin yang indah dan harum, kamar itu tidak begitu luas. Hanya ada ranjang dan meja kecil saja. Di atas meja kecil itu tersimpan sekeranjang buah, mulai dari apel, jeruk, anggur, dan melon. Tak lupa ada sekotak susu cair dan gelasnya serta sebatang cokelat dengan merk terkenal.

Arman dan istrinya sedang melakukan dua rekaat shalat berjamaah pertama mereka. Sebuah bentuk kesyukuran atas nikmat tuhan yang tak terkira, sungguh nikmat tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?

“Mas cinta banget sama adek..” ujar Arman selepas berdoa, sambil menatap mata indah istrinya, cantik sekali.

 

“Karena Allah mas.. Cintai adek karena Allah..” suara Nevi lembut, mencium tangan Arman. Malam itu menjadi malam tak terlupakan untuk mereka. Sungguh indahnya menahan, saat berbuka penuh kejutan.

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI

 

Cintaku Tak Direstui

Tags

, , , , , , , , , , , ,

Cuaca kota Jakarta hari itu panas, sama seperti biasanya. Matahari tanpa malu-malu tebar pesona di atas langit biru nan indah. Jalanan padat merayap, ramai sekali. Sedangkan asap kendaraan dan debu jalanan beterbangan mengotori udara. Daun-daun pepohonan penghias jalan tidak lagi berwarna hijau, sudah dibedaki oleh debu dan asap kendaraan. Ada yang berwarna cokelat karena debu yang tebal, namun tak sedikit yang berwarna hitam karena asap kendaraan. Ah kasihan pepohonan itu.

Sementara itu, di pinggiran ibu kota, di sebuah rumah sederhana duduklah dua perempuan kakak-beradik, bercengkerama. Sesekali dua malaikat kecil sang kakak mengusik obrolan mereka dengan permintaan yang bermacam-macam. Mulai dari minta buatin susu lah, ganti celana karena ngompol lah, minta jajan lah, dan sebagainya.

Dua kakak beradik ini cukup akrab satu sama lain. Dulu ketika si kakak belum menikah, mereka justru seperti sahabat dekat yang suka saling menumpahkan perasaan masing-masing, curhat. Dulu si kakak yang lebih sering bercerita tentang isi hatinya, tentang hubungannya yang tidak direstui. Sang adik, dengan bijak hanya berkata, “Cece harus yakin, ayah sama ibu cuma butuh keyakinan cece aja, kalau cece yakin, ayah sama ibu pasti nanti merestui. Tapi kalau cece nggak yakin, ayah sama ibu malah semakin kuat nggak setujunya sama mas Dodi”.

Itu dulu, sekarang keadaan berbalik. Si adik menghadapi kondisi yang mirip, jika dulu si kakak tidak di restui karena perbedaan suku, si kakak asli betawi, sedangkan Dodi Jawa tulen. Kini Si adik tak direstui karena pekerjaan.

“Ce.. adek udah ngomong lagi ke ayah tentang keinginan adek menikah sama Khalid”

“Terus ayah bilang apa?” tanya si kakak sambil sibuk menyuapi malaikat bungsunya. Sebenarnya ia sudah tau bahwa orang tua mereka pasti belum merestui.

“Ayah nggak setuju Ce. Masih dengan alasan yang sama, kata ayah pekerjaan Khalid tidak bisa menjamin kehidupan adek nanti..”

“Emang pekerjaan Khalid sekarang apa dek? Cece lupa. Kemarin pas kamu kasih biodatanya ke Cece, belum sempet Cece baca semua eh udah entah kemana sekarang. Maklumlah, Asyfa dan Adlina ini kan masih kecil-kecil, suka sembarangan ngambil barang apa aja yang bisa diraihnya”

“Khalid sekarang lagi merintis bimbelnya, Ce. Walau baru berjalan dua bulan, tapi adek ngeliat kerja keras dan usahanya itu. Lagian kan yang penting itu tetap berpenghasilan dengan apapun pekerjaannya”

“Iya bener” ujar si kakak, “Cuma ayah dan ibu itu kan masa lalu nya buruk untuk urusan materi, dek. Kamu ingat kan dulu kita harus pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain, makan seadanya, dan pernah di akhir bulan kita dimarahi hanya karena telat membayar sewa rumah” si kakak mengenang masa lalu keluarganya, “Gaji ayah yang hanya sebagai guru honor, jelas tidak bisa mencukupi kita. Untunglah sekarang ayah sudah diangkat jadi PNS dan tunjangan guru di Jakarta sekarang sudah membaik”

“Iya Ce, adek ingat semuanya kok”

“Ayah sama ibu cuma nggak ingin kamu merasakan hal yang sama dengan mereka dek. Ayah dan ibu cuma ingin yang terbaik untuk mu”

“Tapi rejeki itu Allah yang atur kan, Ce. Mungkin Khalid memang belum mapan sekarang, tapi adek ngeliat Khalid mampu bekerja keras”

“Nah kalau kamu yakin, terus kenapa mesti bingung?”

“Ya bingung lah, Ce, kan ayah sama ibu masih nggak setuju kalau adek nikah sama Khalid”

“Adek, kalau kamu udah yakin, kamu harus kuat!” si kakak menerawang ke masa lalunya, ”Ayah sama ibu cuma butuh keyakinan kamu aja, dek, kalau adek yakin ayah sama ibu pasti nanti merestui. Tapi kalau adek nggak yakin, ayah sama ibu malah semakin kuat nggak setujunya sama Khalid”.

Si Kakak ingat kata-kata adiknya inilah yang dulu berhasil membuatnya kuat dan akhirnya mendapatkan restu menikah dengan Dodi, pujaan hatinya, kini dua malaikat kecil hasil pernikahannya sedang imut-imutnya, menanti tumbuh menjadi penerus negeri.

“Kamu ingat, kalimat itulah yang membuat Cece kuat untuk terus memburu restu ayah dan ibu dulu” ujar si kakak, “Kalimat itu dari lidah kamu Dek”

Walau matanya basah, sang adik tetap tersenyum. Bagaimana bisa dulu ia yang menjadi penguat kakaknya, justru kini hampir terpuruk dan putus asa menanti restu orang tua. Dalam kegelisahannya ia kembali meneguhkan hati untuk memperjuangkan restu dari orang tuanya untuk si pujaan hati, Muhammad Khalid.

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI.