• Sekelumit Tentang SyaiHa
  • SGEI
  • Tentang Blog

pelukissenja

~ Just another WordPress.com site

pelukissenja

Tag Archives: pernikahan

Galau.. Tak Siap Menjalani Kehidupan

22 Monday Oct 2012

Posted by syaiha in Uncategorized

≈ 1 Comment

Tags

belum mapan, berkembang, galau, jodoh, masa depan, pernikahan, syaiha, tumbuh

Tumbuh dan berkembang adalah sebuah keniscayaan, tidak bisa dihindari. Kecil jadi besar, anak-anak jadi dewasa, dan hidup menuju kematian, itulah kepastian. Sayang, terkadang kita semua lalai menapaki kehidupan dengan torehan tinta kebaikan, terbuai dengan kesenggangan dan lupa meraih mimpi yang diharapkan, “Kan masih ada besok” menjadi alasan klasik untuk menunda pekerjaan.

Kebiasaan buruk inilah yang membuat banyak diantara kita yang tidak bisa mempersiapkan masa depannya dengan baik. Ketika sadar, ternyata ia sudah menginjak usia matang, dewasa. Padahal sepertinya baru kemarin anak-anak, eh sekarang sudah mau punya anak. Waktu pun terbuang sia-sia tanpa persiapan bekal memadai.

Setiap orang pasti pernah mengalaminya, lalai memanfaatkan waktu. Seperti kemarin saat seorang sahabat mengirim sebuah pesan singkat..

“Saya ngerasa tertekan menjalani kehidupan nih. Ngerasa nggak siap aja dengan tanggung jawab yang semakin besar”. Saya sih kemudian menjawab semau saya saja, “Kehidupan ini kan Allah yang atur sedemikian rupa, jadi apapun yang terjadi sekarang, kita pasti bisa menghadapinya. Semua sudah Allah perhitungkan”.

Coba jika sebelumnya sudah disiapkan untuk menghadapi masa sekarang, seharusnya ia tidak akan merasa tertekan. Kemungkinan hari-hari sebelumnya sering bersantai dan kurang persiapan.

Atau ada juga sahabat lain yang galau dengan masalah jodohnya.

“Pengen kembali ke masa-masa belasan tahun..” bunyi pesannya, “Masa dimana nggak ada beban yang berat”

“Emang kenapa?” tanyaku penasaran.

“Iya mas, baru sadar ternyata sekarang udah 24 tahun, masa yang sudah seharusnya bisa hidup mandiri dan harus segera memikirkan masa depan, termasuk masalah jodoh”

“Namanya juga hidup, tumbuh dan berkembang itu kepastian, semua orang mengalaminya” jawabku, “Jalanin aja masa sekarang sebaik-baiknya”

“Tapi terkadang takut untuk menikah, takut salah pilih. Menikah itu kan bukan untuk sebulan dua bulan, kalau bisa untuk selamanya. Nah kalau salah pilih kan bisa berabe”

“Mintalah petunjuk sama Allah, Dia yang mengetahui rahasia langit dan bumi”

“Iya mas..”

“Kalau memang sudah siap menikah, ya menikah saja” jawabku lagi.

“Saya sudah banyak membaca buku-buku pernikahan dan ta’aruf mas, tapi semakin saya membaca, saya kok malah semakin yakin bahwa saya belum siap ya. Ngerasa belum settle”

Ya, kemapanan adalah alasan utama yang sering digunakan untuk menunda pernikahan. Terutama orang tua si perempuan, jika yang datang adalah lelaki dengan pekerjaan yang masih serabutan, maka kemungkinan besar akan di tolak. Padahal, jikapun saat ini si lelaki sudah mapan, apakah ada yang bisa menjamin seminggu kemudian semua harta dan kemapanan itu masih ada? Tidak ada kan yang bisa menjamin?

“Terus kalau menunggu siap, kapan dong siapnya? Seharusnya kan persiapan itu sudah dilakukan dari dulu” pancingku, “Toh kan kamu sekarang sudah sarjana, masa untuk mencari sejuta dua juta sebulan nggak bisa?”

Dia diam, lama sms ku tak berbalas. “Menikah itu kan ibadah, jadi wajar kalau setan senantiasa membisikkan keraguan dan was-was ke hati manusia yang ingin menikah. Kan jelas tuh di Al Quran, surat An Nas, dialah (setan) yang membisikkan rasa was-was di hati manusia” ujarku melanjutkan.

“Iya mas, makasih ya. Semoga aja saya dan mas segera diberikan jodoh yang sesuai dan bisa menapaki kehidupan ke depan menjadi lebih baik dengan pasangan masing-masing”

“Amin. Yang penting teruslah berbenah. Karena persiapan menjemput jodoh yang baik adalah senantiasa berbenah menjadi lebih baik”

“Siap mas. Terimakasih”

“Yup, sama-sama”

Sebuah kepastian bahwa semakin kesini, tanggung jawab yang akan kita emban menjadi semakin besar. Maka persiapkan diri mulai dari sekarang. Tidak ada kata terlambat. Teringat akan sebuah nasihat dari seorang kawan, “Bro, setiap orang pasti akan mengalami satu titik tersukses dalam hidupnya, maka sebelum titik itu datang, persiapkan diri dari sekarang”

 

Jadi sebelum titik tersukses kita datang, yuk terus bersiap diri!

SYAIFUL HADI.

 

Advertisements

Malam Pertama, Indahnya Menahan Saat Berbuka Penuh Kejutan

23 Thursday Aug 2012

Posted by syaiha in cerpen

≈ Leave a comment

Tags

arman, Bengkulu, cerpen, keluarga, malam pertama, nevi, pantai panjang, pernikahan

Malam itu, tubuh Arman masih lelah. Bagian pinggang hingga lehernya serasa kaku dan pegal-pegal semua. Bagaimana tidak, Ia baru saja tiba dari Kalimantan Barat satu jam yang lalu. Perjalanan yang baru saja dilaluinya dari pelosok Kalimantan Barat hingga ke kota Bengkulu memakan waktu nyaris seharian penuh.

Nggak terbayang deh jika ditempuhnya pakai kapal laut. Naik pesawat aja capeknya begini, apalagi naik kapal yang memakan waktu berhari-hari, gumamnya. Seandainya bisa memilih, tentu Arman lebih suka berada di atas kasur empuk untuk meluruskan tulang-tulang punggungnya. Tapi, Ia urung melakukannya. Besok ia sudah harus melanjutkan perjalanan ke kampungnya, Kab. Mukomuko, enam jam dari kota Bangkulu. Malam inilah waktu baginya untuk sekedar nongkrong bersama sahabat lamanya.

Ditemani rembulan dan ratusan bintang di langit malam, Ia dan beberapa sahabat SMA nya bernolgia di Pantai Panjang, Bengkulu. Ada Soni, wahid, dan Nezi.

“Cak mano kabar bini samo anak kau, Son? Anak kau lah pacak ngomong yo kini? (gimana kabar istri mu, Son? Anakmu udah bisa ngomong ya sekarang?)”

“Alhamdulillah baik Bang” Jawab Soni singkat, “Aih anak ambo tuh masih umur limo bulan bang, belum pacak ngomong lah (Aih.. anak ku tuh baru lima bulan bang, ya belum bisa ngomong lah)” Walau usia mereka sebaya, namun Arman memang biasa dipanggil Abang oleh teman-temannya.

“Anaknyo Wahid tuh Bang yang udah pacak ngomong, cerewet nian nyo (anaknya wahid tuh bang yang sudah bica ngomong, cerewet banget anaknya)” Nezi menimpali sambil menghisap sebatang Rokok miliknya.

“Siapo dulu gaeknyo cik, Nurwahid!! (Siapa dulu orang tua, Nurwahid!!)” Bangga.

“Tinggal kito lah, Zi yang belum menikah. Menikmati kebebasan!” ujar Arman berusaha berdamai dengan hatinya.

“Eits.. kito?? Kau ajo kali bang!! Hahaha” Nezi tidak terima, “Kalau lancar bulan depan ambo jugo nak nikah Bang! Oia, iko nah undangannyo, dari pado lupo, mending ambo kasih sekarang ajo ke kalian” Nezi membagikan undangan ke tiga sahabatnya.

“Eh.. samo siapo? Masih samo Niken anak IPA 1 yang dulu tuh?”

“Yoyoi bang..”

“Barokallah bro.. Barokallah..” hati Arman semakin kecut. Padahal dulu ketika SMA, empat sekawan ini mengira Arman lah yang akan menikah duluan. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Dua teman karibnya sudah memiliki buah hati yang menggemaskan, satu yang lain bulan depan akan menyusul. Ah, begitulah jodoh, tidak ada yang tahu.

“Kau tuh lah bang.. Sibuk ajo ngurusin orang-orang Dayak di pedalaman Kalimantan sano. Kerjo terus sampe lupo belum nikah.. hahaha” mereka tertawa.

“Sial!”

Malam mulai merangkak naik dan Pantai Panjang semakin ramai oleh motor-motor yang berseliweran kesana-kemari. Sepasang sejoli selalu berpelukan mesra di atas roda dua yang lewat di hadapan mereka. Mencari tempat yang agak semak dan gelap. Entahlah apa yang mereka lakukan disana.

“Arman, kau ingek dak kek Nevi? (Arman, kau ingat sama Nevi nggak?) Adik kelas kau SMP dulu, yang sekolah di SMK N 4 Kota Bengkulu?” tiba-tiba Wahid ingat sesosok perempuan yang mungkin cocok buat Arman.

“Ingek.. ngapo Hid?”

“Kito main ke rumah nyo lah, mumpung belum terlalu malam”

Langsung saja, dua kendaraan roda dua mereka meluncur di Jalanan Suprapto, Bengkulu. Lurus saja hingga simpang SKIP dan berbelok ke kiri menuju Sawah Lebar. Walau sudah hampir tiga tahun ditinggalkan, Bengkulu tidak banyak perubahan.

Tiba di sebuah rumah mungil di bilangan Sawah Lebar, Bengkulu. “Assalamu’alaikum.. “ sambil mengetok pintu.

“Wa’alaikumsalam..” pintu terbuka, “Eh kak Wahid, masuk lah kak”

Empat sahabat karib itu masuk ke dalam rumah sederhana dan duduk di depan TV. Hanya itulah ruang tamu, bercampur dengan ruang keluarga. “Dwi, kok sepi? Mano ayuk Nevi?”

“Ayuk Nevi lagi keluar bentar samo gaek beli martabak cak nyo”

“Wah kebetulan nih perut laper.. hehehe” Soni bercanda. Arman yang belum pernah sekalipun ke rumah ini, lebih banyak diam. Ia perhatikan sekeliling rumah, sederhana, tidak ada yang mewah.

Tak beberalama lama, “Assalamu’alaikum.. eh ada tamu toh? Kebetulan nih nevi baru aja beli makanan” ujar Ibunda Nevi.

Subhanalloh.. Ini nevi? Kok sekarang berubah? Cantik sekali dia.. padahal dulu nggak begini deh! Atau aku saja ya yang nggak pernah memperhatikan? Dada Arman bergemuruh, melihat sesosok anggun masuk, tubuhnya tinggi semampai, berbusana gamis merah dan jilbab yang menjuntai dengan warna senada. Astaghfirulloh hal ‘adzim, Arman memalingkan wajahnya ke arah lain.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul dan martabak habis, serta waktu juga yang sudah larut. Keempat sahabat ini kemudian pamit.

Di perjalanan, di atas roda dua yang dikendarai wahid, Arman lebih banyak diam, melamun. Wajah anggun Nevi masih saja membayanginya. Ia masih tak percaya dengan perubahan drastis yang terjadi pada adik kelasnya. Dulu Arman tidak pernah mau melirik ke Nevi, bukan karena tidak cantik, tapi karena busana ketat yang selalu menempel di tubuhnya. Perempuan dengan busana ketat bukan tipe Arman. “Gue nggak rela tubuh istri gue dinikmati sama mata banyak orang bro, gue cemburu” bagitu kata Arman, dulu, ketika sahabatnya bertanya mengapa tidak bisa jatuh cinta sama perempuan berbaju ketat?

“Cak mano Man, Nevi cantik kan?” Wahid membuyarkan lamunannya.

“Eh.. apo, Hid?” Arman tidak mendengar pertanyaan Wahid, suara motor dan angin yang menerpa telinganya serta lamunannya membuat ia tidak fokus mendengar suara Wahid.

“Nevi cantikkan?” Wahid mengulangi pertanyaannya lebih singkat.

“Ya iya lah, masa ganteng..”

“Ambo tau kok selera kau cak mano.. dari dulu kan kau suko nyo kek perempuan yang pakaiannya kayak karung, besar-besar dan longgar-longgar” Kedua sahabat itu tertawa masih di atas motor kesayangan Wahid.

*****

Dua bulan kemudian, di sebuah kamar pengantin yang indah dan harum, kamar itu tidak begitu luas. Hanya ada ranjang dan meja kecil saja. Di atas meja kecil itu tersimpan sekeranjang buah, mulai dari apel, jeruk, anggur, dan melon. Tak lupa ada sekotak susu cair dan gelasnya serta sebatang cokelat dengan merk terkenal.

Arman dan istrinya sedang melakukan dua rekaat shalat berjamaah pertama mereka. Sebuah bentuk kesyukuran atas nikmat tuhan yang tak terkira, sungguh nikmat tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?

“Mas cinta banget sama adek..” ujar Arman selepas berdoa, sambil menatap mata indah istrinya, cantik sekali.

 

“Karena Allah mas.. Cintai adek karena Allah..” suara Nevi lembut, mencium tangan Arman. Malam itu menjadi malam tak terlupakan untuk mereka. Sungguh indahnya menahan, saat berbuka penuh kejutan.

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI

 

Angin dan Bunga (Ending)

31 Tuesday Jul 2012

Posted by syaiha in Novel

≈ 1 Comment

Tags

abduh, adik, angin dan bunga, anjani, ayu, bayu, ending, hamil, kopi, nafisah, novel, pernikahan

Pernikahan itu pun akhirnya dilaksanakan. Hanya perlu waktu satu minggu bagi Ayu dan Bayu untuk sampai pada hari yang akan menjadi sejarah bagi mereka. Pernikahan yang sederhana dan khidmat seperti permintaan Ayu. Hanya keluarga besar mereka saja yang hadir, ditambah dengan tetangga kanan kiri dan beberapa teman manggung Ayu termasuk Rio dan istrinya Dhita.

Suasana haru nampak menyelimuti pernikahan itu. Betapa tidak, pernikahan mereka tidak dihadiri oleh kedua orang tua Ayu karena telah lebih dulu menghadap Tuhan. Sempat ada setitik rasa iri di hati Ayu, karena saat Murti menikah dengan Samsul, kedua orang tuanya masih ada. Sementara giliran hari bahagia itu datang untuknya, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Tapi Bayu mampu menghilangkan rasa iri itu dari hati Ayu dengan mengatakan “Orang tuaku sekarang juga orang tua kamu Yu. Jangan sedih lagi ya?” sambil menyusut air mata dari pipi Ayu.

Sementara itu, Murti dan Samsul pun merasakan keharuan yang sama. Haru sekaligus bahagia karena telah behasil mengantarkan Ayu ke gerbang pernikahan. Dan tanggung jawab yang selama ini mereka emban, mulai hari itu akan berpindah ke pundak Bayu.

“Bayu, mulai hari ini aku titipkan Ayu sama kamu ya….Didik dan bimbing dia agar bisa menjadi istri yang baik. Jadikan dia ladang pahala buat kamu. Kalau salah ya kamu tegur dia baik-baik. Apalagi kalau berkaitan dengan caranya mengasuh atau mendidik Anjani. Kamu harus maklum, dia belum pernah memiliki anak, ya?” Samsul menyampaikan pesannya, beberapa jam setelah acara pernikahan usai.

Malam itu mereka hanya berdua di teras rumah yang masih penuh dengan perabotan bekas pernikahan Ayu yang belum sempat dibereskan. Sementara itu Murti dan beberapa kerabat perempuan sibuk di dapur membereskan peralatan makan yang tadi dipakai juga menghangatkan hidangan yang masih tersisa untuk sarapan besok pagi. Ayu sendiri sedang menidurkan Anjani di kamarnya sambil membacakan dongeng sebelum tidur.

“Insya Allah mas. Saya akan ingat selalu pesan mas Samsul. Saya akan jaga Ayu baik-baik. Saya sudah pernah menggantungnya bertahun-tahun. Kali ini saya tidak aka menyia-nyiakannya lagi” Bayu tidak ingin mengucapkan janji muluk di hadapan kakak iparnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia janji akan membuat Ayu selalu tersenyum dan jadi orang paling bahagia sedunia.

Beberapa bulan setelah pernikahan…

“Hati-hati Yu, jalannya licin….pelan-pelan aja! Anjani…! Ibu jangan ditarik-tarik begitu! Nanti ibu sama kamu bisa jatuh!”

“Tenang aja mas…Di desa kita dulu juga begini jalannya. Setiap ke sekolah aku nenteng sepatu. Habis becek banget. Eman sepatunya…” Ayu menimpali sambil tetap mengikuti kemana pun Anjani melangkah.

Jalanan desa itu memang licin setelah hujan semalam. Tapi Ayu seperti tak peduli. Dia sedang ingin menikmati pemandangan di desa yang baru pertama kali dipijaknya itu. Desa yang selama ini menjadi tempat Bayu mengabdikan dirinya hingga akhirnya bertemu Aisha. Dan pagi itu mereka baru saja menziarahi makam Aisha dan dilanjutkan dengan jalan-jalan keliling desa.

“Hati-hati Yu….jalan disini nggak seperti di desa kita!” berkali-kali Bayu mengingatkan.

“Iya mas….aku hati-hati kok. Nggak usah berlebihan to. Cuma jalan yang licin…Aku juga jalannya pelan-pelan”

“Tapi kamu kan lagi hamil Ayu Kusumawati….! Bukan kamu saja yang aku khawatirkan, tapi juga anak kita…” Bayu kembali mengingatkan sambil berjalan mengikuti langkah Anjani dan Ayu. Keduanya memang tidak pernah bisa diam. Anjani yang lincah klop dengan Ayu yang juga enerjik. Bahkan meski sedang hamil pun Ayu ngotot ingin ziarah ke makam Aisha. Padahal dokter bilang kalau kehamilannya masih rawan untuk naik pesawat terbang karena baru lewat trimester pertama.

Tapi Bayu bahagia memiliki Ayu. Tidak cuma cantik wajahnya juga cantik hatinya. Terlebih dia tidak pernah menunjukkan perubahan sikap pada Anjani meski tengah hanil anaknya sendiri. Jika Anjani sedang rewel, Ayu selalu bilang “Malu lho sama adik yang di dalam perut ibu. Adiknya nggak rewel, kok kakak Anjani rewel?” begitu yang selalu dikatakan Ayu dan selalu manjur membuat Anjani mengentikan rengekannya.

Melihat Ayu tidak berubah sikap pada Anjani membuat Bayu semakin menyayanginya dan membatunya menjaga emosinya selama kehamilannya. Menurut Bayu, hanya dengan menjadi suami yang baik, istrinya juga akan bersikap baik padanya dan anak-anak mereka kelak.

Dan Ayu juga membuktikan dia adalah istri yang bisa menempatkan diri. Meski di kampungnya dia seorang selebriti, tapi di kampung ini dia berusaha untuk selalu mengikuti apa yang berlaku di pedalaman ini. Berusaha menjadi anak yang baik bagi Nafisah dan Abduh yang sudah kehilangan Aisha.

“Mak….selama saya di sini, emak jangan segan menegur saya kalau saya salah. Anggap saja menegur anak emak sendiri. Saya memang bukan Aisha dan ndak akan pernah sama dengannya. Tapi saya sendiri ndak punya orang tua mak. Saya akan senang kalau emak dan abah mau menganggap saya seperti anak sendiri. Ya mak?” Nafisah hanya menjawabnya dengan pelukan hangat. Kerinduannya pada Aisha seolah terobati dengan kehadiran Ayu. Begitupun Abduh. Meski hanya diam, lelaki paruh baya ini sebetulnya sangat bahagia dengan kehadiran Ayu. Ada sesuatu yang seolah kembali mengisi hatinya setelah kehadiran Ayu.

******

Subuh baru saja berlalu saat Anjani merengek minta dibuatkan susu. Dan seperti biasa, Ayu dengan cekatan menuju ke dapur dan menyeduhkan susu untuknya. Di dapur dia melihat Nafisah sedang memasak.

“Emak sudah sholat subuh?”

“Sudah. Kamu sendiri sudah sholat?”

“Baru selesai mak, jamaah sama mas Bayu. Abah masih di mushola?”

“Iya. Sebentar lagi pasti pulang. Sawah sedang saatnya dipanen. Kalau kesiangan kasihan yang kerja. Panas” Ayu hanya menyimak tanpa menanggapi. Tapi di pikirannya pasti asik melihat orang panen di sawah. Pemandangan yang jarang dilhatnya karena kedua orang tuannya juga tidak memiliki sepetak sawah pun.

Saat Ayu kembali ke kamar, dilihatnya Bayu sedang memandangi foto Aisha yang terpasang di dinding. Cukup lama Bayu terpaku di depan foto itu. Sampai dia tidak menyadari bahwa Ayu sudah kembai ke kamar dan sedang membantu Anjani minum susu. Ketika sadar ada Ayu di kamarnya, Bayu meraih foto itu membawanya menuju lemari. Bayu berniat menyimpan foto karena tidak ingin Ayu merasa tidak enak.

“Ndak usah disimpan mas. Biarkan saja tetap di tempatnya. Kalau mas ingin memasang foto pernikahan kita, kita psang saja bersanding dengan foto Aisha” Bayu menatap Ayu dengan pandangan tak mengerti. Tak sedikitpun Ayu terlihat cemburu. Justru terlihat senyum yang sangat tulus di bibir Ayu.

“Kamu nggak keberatan foto itu ada di dinding?” Ayu mengeleng. Senyumnya masih mengembang.

“Biarkan saja seperti adanya. Aku tidak ingin mengubah apapun yang ada di rumah ini termasuk foto itu. Kalau mas ingin memasang foto pernikahan kita, kita pasang saja di sebelah foto Aisha. Suatu saat, kalau Anjani memerlukan penjelasan, kita bisa katakan padanya kalau wanita cantik itu adalah ibu mengorbankan hidupnya untuk melahirkannya. Dan yang duduk bersanding dengan ayahnya adalah ibu yang mengasuh dan membesarkannya dengan penuh cinta” Bayu tidak bisa berkata-kata. Hanya pelukan erat dan kecupan hangat di kening Ayu lah yang mengungkapkan kebahagiaannya memiliki istri yang penuh kasih dan pengertian seperti Ayu.

******

Malam belum terlalu larut. Baru sekitar pukul sembilan. Tapi suasana desa itu sudah sangat sepi.Tak banyak orang lalu lalang di jalan depan rumah mereka. Bayu dan Abduh sedang menonton TV, sementara Ayu sedang membantu Nafisah di dapur membereskan peralatan bekas makan malam. Selaian itu bekas makan para pekerja yang tadi memanen padi di sawah juga masih belum selesai dicuci.

“Ayu…sudah. Kamu istirahat dulu. Jaga kandungan kamu!” Nafisah mengingatkan Ayu karena melihatnya terlalu bersemangat bekerja.

“Ndak apa mak. Cuma cuci piring. Sebentar lagi selesai. Nanti kalau saya merasa capek, saya pasti berhenti. Emak duluan saja ke depan, nanti saya menyusul” Nafisah tidak tega meninggalkan Ayu sendirian mengerjakan pekerjaannya. Tapi kembali Ayu memintanya untuk meningalkan dapur.

“Titip air ya Yu. Nanti kalau sudah mendidih,tolong kamu seduhkan kopi untuk Bayu dan abahmu” Ayu mengangguk dan meneruskan kembali pekerjaannya hingga selesai. Setelah air mendidih, Ayu pun menyeduh kopi untuk Bayu dan Abduh, dan menyimpan sisa air mendidih di termos untuk persediaan kalau Anjani minta susu.

“Abah, mas Bayu, ini kopinya” Ayu meletakkan nampan berisi dua gelas kopi di meja ruang tengah dan bergabung dengan yang lain nonton OVJ. Sesekali terdengar Ayu ikut bersenandung jika sinden Giselle dan Winda melantunkan sebuah lagu.Tapi sebelum acaranya selesai, Abduh dan Nafisah sudah meninggalkan mereka dan masuk ke kamar. Panen hari itu memang melelahkan meski hasilnya menggembirakan.

Tak lama Ayu pun berdiri dan masuk ke kamar. Dia hanya ingin melihat Anjani dan setelah memastikan keadannya baik-baik saja, Ayu kembali keluar dengan mengenakan jaketnya. Ayu tidak kembali ke ruang tengah tapi membuka pintu depan dan duduk menyendiri di teras. Dibiarkannya udara dingin malam itu menyapanya. Langit memang sedang mendung dan mungkin akan segera turun hujan. Angin pun bertiup kencang. Tapi Ayu tetap di luar dan menikmati hembusannya.

“Kok disini sendirian? Aku pikir nyusul Anjani tidur?” sapaan Bayu mengejutkannya. Tapi tidak membuatnya bergeser sejengkalpun dari tempatnya duduk. Justru ditariknya lengan Bayu agar menemaninya duduk di teras.

“Kangen sama rumah?” tanya Bayu lagi. Ayu hanya menggeleng dan menyandarkan kepalanya di dada Bayu. Bayu menyambutnya dengan pelukan hangat penuh kasih sayang. Sesekali diciumnya rambut Ayu yang harum dan terurai lepas ditiup angin.

“Aku justru ingin, kita agak lama disini”

“Lho, kamu nggak ingin lihat ponakanmu lahir? Mbak Murti pasti senang kalau kamu ada di sana saat dia melahirkan”

“Tapi mbak Murti juga pasti mengerti kalau aku ingin tetap disini. Seorang istri sudah seharusnya mendampingi suaminya di manapun dia berada. Aku tahu, mas Bayu masih diperlukan di desa ini. Karena itu aku ingin selalu di samping mas Bayu”

“Kamu sendiri kan sedang hamil Ayu. Aku tidak ingin kamu mengalami nasib seperti Aisha. Disini jauh dokter dan rumah sakit. Bidan desa pun jauh tempatnya. Aku nggak mau kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya” Bayu mempererat pelukannya. Malam memang semakin dingin dan gerimispun mulai turun.

“Mas ndak usah khawatir. Aku percaya Allah akan menjagaku dan anak ini. Insya Allah dia akan lahir sehat dan selamat. Dan aku..? Aku akan berjuang keras agar tetap bia mengasuhnya setelah dia lahir. Aku ingin melihat dia bermain dengan kakaknya, Anjani. Mas Bayu bantu aku ya?”

“Pasti Yu. Insya Allah aku pasti bantu kamu melewati semua ini. Aku janji akan jadi suami terbaik buat kamu dan ayah terbaik buat anak-anak kita”

Ayu tersenyum bahagia. Penantian dan kesetiaannya selama ini tak sia-sia. Angin dan bunga akhirnya bersanding. Angin akan meniupkan wangi bunga ke segala penjuru. Meniupkan kesederhanaan dan kesahajaan sang bunga ke indra penciuman siapa saja. Mengabarkan kesetiaan tak terbatas yang akhirnya berbuah bahagia.(SELESAI)

 

Note : untuk melihat karya DYAH RINA yang lain monggo klik aja INI.

DYAH RINA

 

Angin dan Bunga (Part 11)

27 Friday Jul 2012

Posted by syaiha in Novel

≈ 5 Comments

Tags

angin dan bunga, anjani, ayu, bayu, Dhita, diffable, duda beranak satu, haryo, novel, pernikahan, undangan

 

Penulis : DYAH RINA

Sudah hampir dua minggu Anjani berada di rumah Ayu. Dan selama itu pula tak sekalipun Anjani merengek minta pulang. Hari-hari Ayu pun berubah drastis. Biasanya saat tidak memberi les atau dapat job menyanyi dia akan mati gaya seharian. Paling membantu Murti masak di dapur, atau memainkan Andro sekedar update status di Facebook, atau menulis tweet di akun twitternya.

 

Tapi semenjak ada Anjani, tidak ada lagi cerita mati gaya. Yang ada Ayu malah hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri kecuali untuk tidur. Dari pagi hingga malam hari ada saja hal yang dikerjakannya untuk atau besama Anjani. Memandikan, menyuapi dan mengajarinya makan, mengajaknya bermain dan menemaninya tidur hingga Ayu pun ikut tertidur.

Sesekali Ayu juga mengajaknya jalan-jalan mengelilingi desa dengan motor atau sekedar jalan-jalan ke pasar yang tak jauh dari rumah mereka. Dan setiap pulang dari pasar, selalu saja ada barang-barang baru yang dibeli Ayu untuk Anjani. Mulai baju, aksesoris, mainan sampai biskuit kesukaan Anjani. Bukan cuma Ayu, Murti dan Samsul pun demikian. Setiap datang dari kota, Samsul selalu membawa sesuatu untuk Anjani. Bisa susu dalam kemasan, biskuit atau buah. Bagi Murti dan Samsul, siapa tahu saja Anjani bisa puat pancingan agar segera punya anak. Maklum saja, sejak menikah empat tahun lalu, mereka belum dikaruniai anak. Jadi wajar jika mereka begitu mendambakan keturunan. Dan hasrat itu sementara ini bisa mereka curahkan dengan menyayangi Ajani. Apalagi bagi Murti dan Samsul, Bayu bukan orang lain lagi. ‘Anggap saja sedang mengasuh keponakan’ begitu kata mereka.

Dan pagi itu, Ayu baru saja selesai memandikan Anjani. Sebuah perjuangan yang melelahkan karena Anjani selalu menolak untuk mandi pagi. Entah karena terbiasa dimandikan agak siang, atau karena semua anak kecil memang susah mandi, Ayu tidak tahu pasti. Yang jelas, sebelum berhasil membawa Anjani ke kamar mandi selalu didahului dengan kejar-kejaran. Tapi buat Ayu atau Murti itu bukan masalah. Hitung-hitung olah raga, begitu kata mereka.

Baru akan memasang jepit di rambut Anjani, terdengar Andro berbunyi. Lagu Anginmilik Dewa terdengar nyaring. Lagu yang dipasang untuk penanda kalau Bayu yang menelponnya. Diambilnya Andro dari meja rias dan duduk kembali di ranjang sambil merapikan sebagian rambut Anjani yang masih berantakan.

“Assalamu’alaikum” Ayu mengucapkan salam.

“Wa’alaikumsalam. Kamu ndak kerja Yu? Hari rabu biasanya ada les kan?” tanya Bayu dari seberang.

“Iya mas, tapi masih nanti sore. Jadwal sengaja kupindah karena kalau pagi Anjani nggak ada yang jaga. Kalau sore kan ada mbak Murti. Biasanya sih kuajak mas ke tempat les. Cuma beberapa hari ini kalau sore sering hujan. Takut Anjani malah sakit kalau diajak-ajak”

“Lagi ngapain dia sekarang? Udah mandi apa belum? Maaf aku lupa ndak ngasih tau kamu kalau Anjani memang agak susah disuruh mandi. Kerepotan ya ngajak dia mandi?”

“Udah mandi mas, baru aja. Tuh, baru aja mau kupasang jepit rambutnya, mas keburu nelpon. Tadi juga lumayan menguras tenaga untuk ngajak dia mandi. Lari-larian terus. Jadi tiap pagi aku musti kejar-kejaran dulu sama dia kalau mau mandiin. Kalau pas udara dingin, air hangatnya sampai jadi ikutan dingin karena dia nggak cepet ketangkep. Tapi ndak apa mas, seru aja” Ayu berdiri dan melangkah ke arah jendela. Ditinggalkannya Anjani yang masih duduk di ranjang daN memainkan boneka.

Bayu tersenyum. Dia membayangkan betapa menyenangkannya jika dia juga ada di sana, bersama Ayu dan Anjani. Dan Bayu juga bisa merasakan kedekatan Ayu dan Anjani yang semakin erat. Akan bertambah bahagia hati bila Ayu bersedia menerima ajakannya untuk bersama-sama menjaga dan mendidik Anjani seperti amanah Aisha.

“Mas, kok diem? Ada yang salah ya dengan omonganku?” Ayu tidak mendengar jawaban.

“Mas…mas Bayu masih di situ…? Hapemu ndak dimatiin kan mas?!” Bayu tersentak.

“Oh…maaf, ndak kok Yu, ndak mati hapenya. Tadi cuma ngebayangin aja betapa repotnya kamu ngurus Anjani” Bayu berbohong.

“Mas…..ndak ada yang merasa repot. Kan aku yang minta agar Anjani tinggal disini. Lagi pula ada mbak Murti dan mas Samsul. Mereka berdua juga seneng banget ada Anjani disini. Bahkan, percaya ndak, mas Samsul itu sekarang rela bolak balik setiap hari dari kota agar bisa main sama Anjani. Gimana, hebat to?”

“Siapa dulu bapaknya? Haryo Bayu…!”

“Walah…malah nirokna(menirukan) iklan teh celup. Iya..iya..bapaknya juga hebat! Puas?!”

“Wee…lha kok ngambeg? Jangan ngambegan, nanti ilang cantiknya”

“Ndak usah ngrayu. Aku ndak akan termakan rayuanmu….!” Bayu tergelak. Lega rasanya mendengar Ayu merajuk. Ternyata masih bisa juga merajuk seperti dulu.

“Ya sudah….ndak jadi ngrayu. Gini aja, hari Minggu besok ada job ndak?”

“Aku sudah hampir sebulan ini ndak kerja selain ngelesi mas. Dan juga ndak terima job sampai sebulan kedepan”

“Lho…kenapa? Ndak ada tawaran manggung?”

“Kalau tawaran banyak mas. Tapi aku yang kepengen istirahat dulu. Awalnya gara-gara sakit kemaren itu. Terus aku putuskan untuk istirahat dulu. Toh aku juga nggak nganggur. Masih ngelesi. Kenapa mas, kok tumben tanya soal kerjaan?”

“Begini lho Yu, hari Minggu itu aku mau ngajak kamu menghadiri pernikahan temenku. Sebenarnya dia adik kelasku. Tapi kami lumayan akrab. Apalagi dia istimewa buatku”

“Temennya mas Bayu pengantin pria apa wanitanya mas?”

“Memangnya kenapa kalau wanitanya? Kamu cemburu?”

“Hiss….dalam kamus hidupku ndak ada kata-kata cemburu. Lagi pula cemburu itu membuang energy. Apalagi aku kan ndak punya hak untuk cemburu mas. Mas Bayu boleh kok bergaul dengan siapa saja yang mas Bayu kehendaki” Ayu sedang berbohong. Padahal dalam hatinya dia akan sangat cemburu jika Bayu mendekati wanita lain apalagi sampai mengatakan dia istimewa. Ayu tersenyum. ‘Ternyata aku masih cinta sama mas Bayu. Masih merasa was-was kalau-kalau teman istimewa itu adalah seorang wanita’

“Nggak kok Yu. Dia seorang pria. Aku sudah lama tidak ketemu sama dia sejak lulus kuliah. Aku dengar sekarang dia jadi guru di kota ini. Baru saja mau aku hubungi, eh..dia malah sudah lebih dulu datang dan kirim undangan pernikahannya. Kamu bisa ndak nemenin aku?”

“Insya Allah mas. Nanti aku telpon lagi ya?”

“Ya sudah. Kamu terusin aja nyisir rambutnya Anjani. Kalau kelamaan dibiarin ndak sisiran, bisa kayak rambutnya Bob Marley….Hehe”

“Bisa aja mas Bayu ini. Ndak pengen ngomong sama Anjani?”

“Ndak usah. Dengar kabar dia baik-baik aja sudah cukup buat aku. Aku pamit dulu ya Yu. Mau bantu bapak di kantor. Yuk, Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam” Ayu menutup telponya. Ada rasa lega setelah mendengar suara Bayu. Entahlah. Padahal dia tidak sedang menunggu telpon dari Bayu. Tapi mendnegar suaranya, candanya, tawanya, terasa begitu menyenangkan. Ibarat merasakan hembusan angin di siang yang terik. ‘halah..kok dadi(jadi) lebay’ batin Ayu. Tapi jujur saja, itu yang dirasakan Ayu saat ini. Bahagia.

Setelah meletakkan kembali Andro di meja rias, Ayu melanjutkan kembali menyisir rambut kriwil Anjani. Dia senyum-senyum sendiri mengingat omongan Bayu tentang rambut Bob Marley. ‘Ada-adaaa saja. Rambut anak sendiri kok dibilang kayak Bob Marley…

Dan di hari Minggu , seperti yang dijanjikan, Ayu memutuskan untuk bersedia menemani Bayu menghadiri pernikahan kawan lamanya. Pukul delapan pagi hari itu, Ayu terlihat sudah rapi. Entah mengapa hari itu dia ingin sekali mengenakan busana batik Kalteng, juga anting perak Kota Gedhe pemberian Bayu. Ayu seperti ingin menunjukkan pada Bayu, bahwa dia masih merawat semua pemberian Bayu seperti dia menjaga cinta itu tetap di hatinya. Anjani juga sudah didandani cantik. Dengan baju berbahan kaos warna ungu cerah, dan rambut yang dihias bando warna senada, membuat bocah kecil itu semakin imut.

Saat Ayu sedang membenahi riasan wajahnya, Anjani yang sebelumnya berada di teras besama Samsul tiba-tiba berlari masuk ke kamar dan menarik-narik tangan kirinya.

“Ada apa sayang….? Anjani mau minta apa?” Anjani mengeleng.

“Ayah…! Ada Ayah….!”

“Ayahnya sudah datang? Di mana sekarang?”

“Di luar sama Pakdhe…..” Anjani melepaskan tangan Ayu dan menatap wajah Ayu lekat-lekat. Selama di rumah Ayu, Anjani memang tidak pernah melihat Ayu berdandan kecuali memakai bedak dan lipstick. Tapi hari itu Ayu juga mengenakanblush on dan eye shadow meski sangat tipis. Tapi di mata Anjani semua membuat Ayu nampak berbeda.

“Kenapa sayang? Ibu jadi jelek ya?” sambil mengenakan sepatunya Ayu bertanya pada Anjani. Anjani menggeleng. Namun kemudian mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu kedua telunjuknya ditempelkan di pipi.

“Cantik….” Ayu tersenyum dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi tembem Anjani.

“Kita berangkat yuk! Kasihan ayah nunggu lama…” Ayu menggandeng tangan Anjani dan melangkah keluar setelah sebelumnya mengambil tas dan diselempangkan di bahu. Bukan tas tangan seperti biasanya, tapi tas Spongebob milik Anjani yang berisi keperluannya.

Sampai di ruang tamu, Bayu terlihat sedang berbincang dengan Samsul. Mata Ayu langsung tertuju pada pakaian yang dikenakan Bayu hari itu.

“Lho…mas? Kok…?” Ayu tidak melanjutkan kalimatnya hanya menunjuk baju yang dipakai Bayu dan kemudian memperhatikan gaunnya sendiri.

“Kenapa? Kaget ya aku juga punya baju yang sama? Dulu memang sengaja beli yang sarimbit(berpasangan). Siapa tahu saja ada kesempatan untuk memakainya sama kamu. Dan ternyata kesempatan itu baru datang sekarang” Bayu tersenyjm lebar. Dalam hati dia salut pada Ayu yang masih saja menyimpan dan merawat pemberiannya. Apalagi dia juga melihat anting perak itu dipakai Ayu dan menambah kecantikan gadis pujaannya itu.

“Iya mas. Nggak nyangka aja, ternyata mas Bayu juga punya. Lho…lha mbak Murti ke mana to mas Samsul? Belum pulang to dari rumahnya lik Ginem?”

“Belum Yu. Ya maklum saja, lik Ginem itu kan tukang pijit yang lumayan laris. Hari Minggu gini pasti banyak yang minta dipijit” Samsul memberi penjelasan.

“Oh…gitu ya? Ya maklum, aku kan ndak pernah pijit sama lik Ginem. Jadi ya ndak tahu. Gimana mas Bayu, kita berangkat sekarang? Kalau kesiangan takut Anjani keburu ngantuk. Nanti malah rewel”

“Kalau kamu sudah siap ya ayo. Kami pergi dulu ya mas, pamitkan pada mbak Murti kalau sudah datang” Bayu berpamitan pada Samsul, kemudian berdiri dan melangkah keluar. Samsul dan Ayu mengikuti langkah Bayu menuju mobil.

“Aku pergi dulu ya mas. Hati-hati di rumah sendirian. Ga boleh ngalamun, nanti ayam tetangga mati” Ayu berpamitan sambil menggoda kakak iparnya.

“Hiss…apa hubungannya ngalamun sama matinya ayam tetangga? Sudah berangkat sana! Anjani sun pakdhe dulu” Samsul mencium pipi Anjani dengan gemas dan melambaikan tangan. Anjani pun membalas lambaian tangannya dan masuk ke mobil bersama Ayu.

“Kami berangkat mas, Assalamu’alaikum” Bayu dan Ayu pun mengucakan salam dan tak lama kemudian mobil warna metalik itu pun meninggalkan rumah Samsul.

Dalam perjalanan Ayu lebih banyak diam atau menjawab pertanyaan Anjani tentang semua yang dia lihat dalam perjalanan. Mulai mobil, sawah, kerbau dan sapi sampai warna baju yang dipakai orang yang mereka lewati.

“Yu….makasih ya” kalimat Bayu memecah kesunyian perjalanan mereka.

“Terima kasih untuk apa?” tanya Ayu tidak mengerti.

“Terima kasih karena sudah menjaga dan merawat benda-benda pemberianku. Bahkan kamu masih memakainya”

“Ndak usah terlalu berlebihan mas. Aku selalu berusaha untuk menjaga dan merawat pemberian siapa saja sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. Jika seseorang memberikan sesuatau padaku sesederhana apapun itu, pasti mereka sudah meluangkan banyak waktu untuk memilih jenis, bentuk dan juga warnanya. Dan itu bukan hal yang mudah. Karena itulah siapa pun yang memberi apapun padaku selalu kuusahakan untuk kusimpan dengan baik”

“Kamu tidak pernah membenciku Yu?”

“Kenapa harus benci?”

“Yaach…..karena aku sudah mengabaikanmu dan juga perasaanmu. Menggantungmu sedemikian lama tanpa kabar berita. Rasanya sebuah alasan yang cukup masuk akal untuk membenciku”

“Untuk apa membenci, jika mencintai lebih membuat bahagia” Bayu terkejut mendengar pernyataan Ayu. Tapi dia tidak berani memastikan makna dari ucapan Ayu bahkan tidak berani menanyakannya. Dan setelah itu keduanya kembali terdiam sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di gedung tempat acara berlangsung.

Saat memasuki gedung, mata Ayu tertumpu pada foto prewedding sang pengantin yang ada di depan pintu masuk. Ayu menghentikan langkahnya untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Bayu yang baru selesai mengisi buku tamu menghampiri Ayu.

“Kenapa Yu? Kamu kenal dengan pengantinnya?”

“Mas, teman mas Bayu pengantin pria kan?” Bayu mengangguk.

“Namanya Haryo Kusumo, pinter main electone dan penyandang diffable?”

“Lho…kok kamu kenal?” Ayu tersenyum.

“Bukan cuma kenal tapi lumayan akrab. Kami sering manggung bareng”

“Oh” Cuma itu yang diucapkan Bayu. Dia merasa tidak perlu menanyakan seberapa dekat Ayu dengan Rio. Bayu ingin segera bertemu kawan lamanya itu dan memilih untuk segera memasuki ruangan pesta.

Pesta pernikahan siang itu berlangsung meriah meski sederhana. Mempelai tidak duduk di pelaminan untuk menerima ucapan selamat, tapi membaur dengan tetamu yang datang. Dari kejauhan Ayu melihat Rio tengah berbincang dengan beberapa orang tamu, sementara Dhita si mempelai wanita juga menemani sekelompok tamu yang lain tak jauh dari Rio.

Begitu melihat Bayu, Rio langsung menghampirinya. Langkahnya yang tertatih namun tetap bersemangat membuat Ayu terharu. Sebagai mempelai yang jadi raja hari itu, Rio tidak segan menghampiri Bayu yang memang lebih tua dan juga kakak tingkatnya di kampus. Nampak aura semangat di wajahnya, juga gurat kebahagiaan yang jelas terbaca. Entah karena hari itu dia bersanding dengan si wanita hebat, atau karena bertemu dengan sahabat lama.

“Mas Bayu! Subhanallah….apa kabar mas? Lama banget ndak dengar kabar mas Bayu. Terakhir kudengar masih di pedalaman. Gimana, sudah selesai pengabdiamu?” mereka berangkulan melepaskan kerinduan.

“Wah..sudah dari tiga tahun lalu Yo. Tapi aku meneruskannya secara pribadi dengan biaya sendiri. Yach….anggap saja tabungan di akhirat. Betul kan?”

“Betul…betul banget mas” kemudian mata Rio tertumpu pada Ayu yang sejak tadi hanya jadi pendengar dan luput dari pandangannya.

“Lho…kok ada mbak Ayu juga? Maaf lho mbak, kemaren itu lupa nggak ngirim undangan. Padahal sudah saya ingatkan si Dhita untuk mencatat nama mbak Ayu. Mungkin dia lupa” Ayu tersenyum. Dia ingat betul percakapan mereka berdua malam itu dan ungkpan ‘picik’ yang dikatakan Ayu tentang Dhita. ‘Mungkin dia nggak ingin aku datang’ batin Ayu.

“Ndak apa mas. Namanya orang punya gawe, banyak yang diurusin. Tapi kan sekarang saya sudah disini. Selamat ya mas, semoga barokah dan langgeng”

“Iya Yo….selamat. Akhirnya wanita hebat itu berhasil kamu sunting. Happily ever after ya friend” Bayu menepuk pundak Rio sementara Rio hanya mengangguk dan tersenyum bahagia.

“Amiin….makasih doanya mbak, mas. Nah…yang imut ini siapa ya? Kok om belom pernah lihat? Ini siapa mbak?” tanya Rio begitu melihat Anjani yang ada di gendongan Ayu. Ayu tersenyum. Ada ide yang tiba-tiba melintas di benaknya. Kejutan untuk Bayu.

“Ini anak saya mas Rio”

“Anak? Mbak Ayu kan…?” Rio tidak melanjutkan pertanyaannya.

“Kenapa mas? Karena saya belum menikah?” Rio mengangguk tapi masih bingung. Apalagi Bayu. Dia sangat terkejut mendengar Ayu menyebut Anjani sebagai anaknya. Tapi kemudian berfikir itu hanya karena Anjani menyebutnya ibu, tak lebih dari itu.

“Saya memang belum menikah mas. Tapi anak ini, bapaknya ini yang kasih ke saya. Calon suami saya mas. Insya Allah” Ayu memandang sekilas pada Bayu yang masih nampak terkejut dan salah tingkah disebut sebagai calon suami. Tak mampu dia memaknai ucapan Ayu. Serius atau sekedar menggodanya.

“Waaahh….mas Bayu ini, kok ndak bilang kalau bawa calon istri! Selamat ya mas, kami tungu undangannya” Bayu hanya mengangguk karena tidak tahu harus bilang apa. Jujur saja dia bingung, Ayu belum mengatakan apa-apa padanya tapi sudah bilang pada orang lain kalau dia calon suaminya. Dan itu bukan hanya pada Rio. Setiap bertemu kenalannya di pesta itu, Ayu selalu bilang Anjani itu anaknya dan Bayu calon suaminya. Tapi Bayu memilih untuk diam saja. Bahkan mulai menikmati disebut sebagai calon suami Ayu. Bukankah itu yang diharapkan? Jadi ya nikmati saja, sambil berharap bahwa Ayu tidak sedang memberi harapan semu.

Dalam perjalanan pulang, Bayu tidak sabar lagi untuk mencari tahu arti ucapan Ayu tentang anak dan calon suami yang sering diucapkannya selama pesta tadi.

“Yu….Aku boleh nanya sesuatu?” Bayu bertanya dengan hati-hati.

“Tanya apa mas?” Ayu membetulkan posisi tidur Anjani di pangkuannya. Sebenarnya bisa saja Anjani tidur di jok belakang. Tapi Ayu memilih untuk memangkunya saja.

“Tadi di tempat Rio, kamu selalu bilang Anjani itu anakmu dan aku calon suamimu. Maksud kamu apa Yu?” Ayu tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Ternyata sarjana lulusan terbaik itu tak selamanya cerdas untuk hal-hal tertentu.

“Mas, tujuan mas menemuiku apa?”

“Ya…untuk mengajakmu menunaikan amanah Aisha. Apa lagi?”

“Mas masih menunggu jawabanku tidak?”

“Tentu saja masih Yu. Kenapa memangnya?”

“Kalau masih mengharapkan jawabanku, apa yang tadi kuucapkan pada semua orang belum cukup menjadi jawaban? Apakah seorang sarjana lulusan terbaik masih perlu penjelasan seperti ABG yang baru kenal cinta? Atau apakah mas Bayu berfikir aku hanya main-main? Selama ini aku nggak pernah main-main kan mas?” Bayu mengeleng.

“Jadi artinya…?”

“Mas….aku mungkin tidak punya pengalaman mendidik dan mengurus anak karena aku belum pernah punya. Aku juga tidak akan pernah bisa menggantikan kedudukan Aisha baik disisimu maupun di hati Anjani. Sampai kapanpun Aisha adalah ibunya Anjani. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi ibu yang baik buat dia dan tentu saja istri yang baik buat mas Bayu”

Tiba-tiba pandangan Bayu mengabur. Matanya berkaca. Karena tidak ingin terjadi sesuatu, dia memilih menepikan mobilnya dan mematikan mesin. Dipalingkan wajahnya pada Ayu. Diantara air mata yang mengenang dia menatap Ayu lekat-lekat seolah tak ingin berpaling lagi.

“Ayu…barusan aku dengar kamu bilang, ingin menjadi ibu buat Anjani dan istri buatku? Aku nggak salah dengar kan?”

“Ndak mas…mas Bayu ndak salah dengar. Saya bersedia untuk menjalankan amanah Aisha. Semoga Allah ridho dan memudahkan saya menjalankan niat baik ini mas”

“Amiin. Alhamdulillah Ya Allah….Alhamdulillah… Makasih ya Yu….! Anjani sayang, Anjani sekarang punya ibu, ibu akan tinggal sama kita selamanya nak” Bayu menciumi anaknya dengan air mata berderai. Bahagia rasanya mendengar kesanggupan Ayu. Terbayang sudah hari-hari bahagia yang akan mereka rajut bersama. Mendidik dan membesarkan Anjani sampai saatnya kelak dia siap untuk diberi tahu siapa ibu kandungnya.

“Yu…hari ini juga, aku akan melamarmu pada mas Samsul dan mbak Murti. Dan setelah itu kita langsung urus segala sesuatunya untuk pernikahan kita. Aku sudah menunda banyak hal. Dan untuk yang satu ini aku tidak ingin menunda lagi. Bagaimana yu, kamu siap kan?”

“Iya mas, tidak usah menunda kalau bisa segera. Mumpung aku masih libur ndak nyanyi. O iya, nanti ndak usah rame-rame ya mas. Cukup akad nikah dan resepsi sederhana saja. Keluarga besar kita saja mas”

“Kenapa? Kamu malu karena dapet duda dengan satu anak?”

“Bukan itu mas. Kalau malu menikah dengan duda, aku nggak akan menerimamu. Aku cuma ingin pernikahan ini mejnadi pernikahan yang sakral dan suci, yang akan kita kenang seumur hidup sampai kita hidup lagi di akhirat kelak”

“Oh…gitu ya. Ndak apa Yu, kalau memang itu keinginanmu. Aku ndak bisa bilang apa-apa lagi selain terima kasih, karena kamu bersedia menerimaku untuk bersamaku membesarkan Anjani seperti amanahnya Aisha. Matur nuwun Yu….” Bayu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Meski berurai air mata, tapi kali ini air mata bahagia. Ingin rasanya memutar waktu lebih cepat agar bisa segera tiba di hari bahagia itu. Tapi itu tidak mungkin dilakukan. Yang bisa dilakukan sekarang adalah bersabar menunggu saatnya tiba.

 

Sementara itu, Ayu sendiri merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Impiannya untuk bersanding dengan Bayu akan segera menjadi nyata. Tak sia-sia penantiannya selama ini. Meskipun Bayu ‘tak seperti dulu lagi’, tapi bagi Ayu Bayu tetaplah Bayu yang dia kenal dulu. Yang selalu bersahaja, selalu apa adanya dan tidak pernah malu mengakui kesalahannya. Dan meskipun telah ada Anjani diantara mereka, tapi Ayu merasa Anjani justru akan menjadi perekat cinta mereka berdua. Ayu terlanjur jatuh cinta pada Anjani seperti dia jatuh cinta pada Bayu, untuk kedua kalinya.

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI

 

Mandi Wajib 5 Kali Sehari

18 Wednesday Jul 2012

Posted by syaiha in Humor

≈ Leave a comment

Tags

indah sekali, mandi wajib, nikah muda, pernikahan, syaiha

Sejak saya kuliah beberapa tahun lalu, fenomena menikah muda sudah ramai. Bahkan hingga sekarang hal ini masih ramai, terbukti beberapa undangan dari adik kelasku di beberapa grup FB menyesaki pemberitahuan akun ku. Ah lagi-lagi aku dilangkahi, batinku.

Bagiku, menikah muda itu keren! Saat pemuda seusia mereka memilih untuk bersenang-senang saja dengan status pacaran yang nggak jelas, mereka malah berani mengambil sebuah langkah dan tanggung jawab yang besar. “Menikah muda itu sarana mengupgrade kualitas diri bro!!” ujar seorang kawan yang sudah duluan menggenapkan agamanya.

Tapi suatu ketika sms dari seorang kawan lain yang juga sudah menikah mengejutkan ku, “Aslm.. Akhi, sedang sibuk kah?”

“Wslm.. Nggak, ada apa akh?” jawabku menirukan logat-logat seperti di film KCB dan yang sejenisnya.

“Ane mau curhat nih..” dia mulai serius.

“Ada apa akh? Kalau emang lagi ada masalah, telepon aja. atau kita ketemuan aja gimana?”

“Ane lagi nggak mood untuk telepon, kalau boleh ane sms aja ya”

“Oh, ya udah silakan..” jawabku, “mau curhat apa?”

“Ane nyesel menikah muda akh? Ternyata menikah itu tidak selalu indah” ujarnya agak kecewa.

Aku jadi benar-benar penasaran. Ada apa ini? Ia memang menikah melalui perantara seorang guru ngaji, tapi beberapa bulan lalu ia seperti bahagia sekali, kenapa sekarang begitu kecewa? Apakah istrinya tidak sesuai dengan harapannya? Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna? sahabat ku itu tahu benar akan hal itu.

“Istighfar akh..”

“Syukron akh” jawabnya singkat, “menikah itu memang tidak indah, tapi INDAH SEKALI!! Ane nyesel kenapa tidak menikah dari dulu.. wkwkwkwk”

“Sial.. ane pikir ente serius!! Mupeng nih ane!!”

“Makanya buruan menikah! Kerja udah, kebun sawit juga ada, mau apa lagi?”

“Doakan aja broo!!” jawabku singkat, malas membicarakan hal itu.

Begitu nikmatkah menikah? Sepertinya sih iya, karena sahabatku yang lain malah sampai sms begini kepadaku, “Sejak menikah, kalau mau shalat lima waktu, aku pasti mandi wajib dulu.. hahaha”

“!!?!?!?!?!?!?!?!?”

Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI.

Udah Berapa yang Berkunjung?

  • 113,196 hits

Recent Posts

  • Galau.. Tak Siap Menjalani Kehidupan
  • Cinta Itu Adalah…
  • (no title)
  • Perokok Susah Berkurban
  • Belajar Menulis dari Son Goku

Tanggal Berapa Sekarang?

April 2018
M T W T F S S
« Oct    
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Archives

  • October 2012
  • September 2012
  • August 2012
  • July 2012
  • June 2012
  • May 2012
  • January 2012
  • December 2011
  • November 2011

Categories

  • cerpen
  • Humor
  • Leadership
  • Novel
  • Pendidikan
  • Religi (Islami)
  • Resonansi Jiwa
  • tadabbur ayat
  • Uncategorized

I Love This Blog

Ada apa di Pelukis Senja?

Advertisements

Create a free website or blog at WordPress.com.

Jejak Langkah Seorang Wanita Biasa

-Dunia Dianita-

Ladang Pikiran

Learn | People | Nation | Travel | Hobbies | Economics | Agriculture | Insight | Photography | Journey | Personal Life | Thought

The Journey

berbagi itu... sesuatu :)

Nugroho Technology

Menggali Makna Dalam Setiap Kata

Panji Wiyana World

Create Strong Culture

Acep Aprilyana

Sundanese in Actions

Anak KREATIF & Berprestasi | 022 2008621 | 0818 22 0898

Raih SUKSES ANDA Mencerdaskan Bangsa

CERITA MOTIVASI UNTUK SEMUA

KUMPULAN CERITA MOTIVASI YANG SANGAT MEMBANGUN

Humanity777's Blog

The Church of Christ

lek ardhi

seberapa positif kamu hari ini?

Syifa Al-Bantani's Blog

Don't be afraid to be the best...

BATansh Tanjung

Berusaha Memahami

Vera Sulistyowati

Kata yang kutulis dari HATI :)

clotildajamcracker

The wacky stories of a crazy lady.

Catatan Kecil Yusnita

memaknai hari dengan untaian kata..

Nunung Nuraida

merekam asa, rasa dan cerita

trytolearn | catatan perjalanan

ROOM BEDAH SYAIR

SAHABAT 2 PREDICTION

hembusan angin lembut

cerita citra

Selembar Kertas Kehidupan

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain