Tags
abduh, adik, angin dan bunga, anjani, ayu, bayu, ending, hamil, kopi, nafisah, novel, pernikahan
Pernikahan itu pun akhirnya dilaksanakan. Hanya perlu waktu satu minggu bagi Ayu dan Bayu untuk sampai pada hari yang akan menjadi sejarah bagi mereka. Pernikahan yang sederhana dan khidmat seperti permintaan Ayu. Hanya keluarga besar mereka saja yang hadir, ditambah dengan tetangga kanan kiri dan beberapa teman manggung Ayu termasuk Rio dan istrinya Dhita.
Suasana haru nampak menyelimuti pernikahan itu. Betapa tidak, pernikahan mereka tidak dihadiri oleh kedua orang tua Ayu karena telah lebih dulu menghadap Tuhan. Sempat ada setitik rasa iri di hati Ayu, karena saat Murti menikah dengan Samsul, kedua orang tuanya masih ada. Sementara giliran hari bahagia itu datang untuknya, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Tapi Bayu mampu menghilangkan rasa iri itu dari hati Ayu dengan mengatakan “Orang tuaku sekarang juga orang tua kamu Yu. Jangan sedih lagi ya?” sambil menyusut air mata dari pipi Ayu.
Sementara itu, Murti dan Samsul pun merasakan keharuan yang sama. Haru sekaligus bahagia karena telah behasil mengantarkan Ayu ke gerbang pernikahan. Dan tanggung jawab yang selama ini mereka emban, mulai hari itu akan berpindah ke pundak Bayu.
“Bayu, mulai hari ini aku titipkan Ayu sama kamu ya….Didik dan bimbing dia agar bisa menjadi istri yang baik. Jadikan dia ladang pahala buat kamu. Kalau salah ya kamu tegur dia baik-baik. Apalagi kalau berkaitan dengan caranya mengasuh atau mendidik Anjani. Kamu harus maklum, dia belum pernah memiliki anak, ya?” Samsul menyampaikan pesannya, beberapa jam setelah acara pernikahan usai.
Malam itu mereka hanya berdua di teras rumah yang masih penuh dengan perabotan bekas pernikahan Ayu yang belum sempat dibereskan. Sementara itu Murti dan beberapa kerabat perempuan sibuk di dapur membereskan peralatan makan yang tadi dipakai juga menghangatkan hidangan yang masih tersisa untuk sarapan besok pagi. Ayu sendiri sedang menidurkan Anjani di kamarnya sambil membacakan dongeng sebelum tidur.
“Insya Allah mas. Saya akan ingat selalu pesan mas Samsul. Saya akan jaga Ayu baik-baik. Saya sudah pernah menggantungnya bertahun-tahun. Kali ini saya tidak aka menyia-nyiakannya lagi” Bayu tidak ingin mengucapkan janji muluk di hadapan kakak iparnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia janji akan membuat Ayu selalu tersenyum dan jadi orang paling bahagia sedunia.
Beberapa bulan setelah pernikahan…
“Hati-hati Yu, jalannya licin….pelan-pelan aja! Anjani…! Ibu jangan ditarik-tarik begitu! Nanti ibu sama kamu bisa jatuh!”
“Tenang aja mas…Di desa kita dulu juga begini jalannya. Setiap ke sekolah aku nenteng sepatu. Habis becek banget. Eman sepatunya…” Ayu menimpali sambil tetap mengikuti kemana pun Anjani melangkah.
Jalanan desa itu memang licin setelah hujan semalam. Tapi Ayu seperti tak peduli. Dia sedang ingin menikmati pemandangan di desa yang baru pertama kali dipijaknya itu. Desa yang selama ini menjadi tempat Bayu mengabdikan dirinya hingga akhirnya bertemu Aisha. Dan pagi itu mereka baru saja menziarahi makam Aisha dan dilanjutkan dengan jalan-jalan keliling desa.
“Hati-hati Yu….jalan disini nggak seperti di desa kita!” berkali-kali Bayu mengingatkan.
“Iya mas….aku hati-hati kok. Nggak usah berlebihan to. Cuma jalan yang licin…Aku juga jalannya pelan-pelan”
“Tapi kamu kan lagi hamil Ayu Kusumawati….! Bukan kamu saja yang aku khawatirkan, tapi juga anak kita…” Bayu kembali mengingatkan sambil berjalan mengikuti langkah Anjani dan Ayu. Keduanya memang tidak pernah bisa diam. Anjani yang lincah klop dengan Ayu yang juga enerjik. Bahkan meski sedang hamil pun Ayu ngotot ingin ziarah ke makam Aisha. Padahal dokter bilang kalau kehamilannya masih rawan untuk naik pesawat terbang karena baru lewat trimester pertama.
Tapi Bayu bahagia memiliki Ayu. Tidak cuma cantik wajahnya juga cantik hatinya. Terlebih dia tidak pernah menunjukkan perubahan sikap pada Anjani meski tengah hanil anaknya sendiri. Jika Anjani sedang rewel, Ayu selalu bilang “Malu lho sama adik yang di dalam perut ibu. Adiknya nggak rewel, kok kakak Anjani rewel?” begitu yang selalu dikatakan Ayu dan selalu manjur membuat Anjani mengentikan rengekannya.
Melihat Ayu tidak berubah sikap pada Anjani membuat Bayu semakin menyayanginya dan membatunya menjaga emosinya selama kehamilannya. Menurut Bayu, hanya dengan menjadi suami yang baik, istrinya juga akan bersikap baik padanya dan anak-anak mereka kelak.
Dan Ayu juga membuktikan dia adalah istri yang bisa menempatkan diri. Meski di kampungnya dia seorang selebriti, tapi di kampung ini dia berusaha untuk selalu mengikuti apa yang berlaku di pedalaman ini. Berusaha menjadi anak yang baik bagi Nafisah dan Abduh yang sudah kehilangan Aisha.
“Mak….selama saya di sini, emak jangan segan menegur saya kalau saya salah. Anggap saja menegur anak emak sendiri. Saya memang bukan Aisha dan ndak akan pernah sama dengannya. Tapi saya sendiri ndak punya orang tua mak. Saya akan senang kalau emak dan abah mau menganggap saya seperti anak sendiri. Ya mak?” Nafisah hanya menjawabnya dengan pelukan hangat. Kerinduannya pada Aisha seolah terobati dengan kehadiran Ayu. Begitupun Abduh. Meski hanya diam, lelaki paruh baya ini sebetulnya sangat bahagia dengan kehadiran Ayu. Ada sesuatu yang seolah kembali mengisi hatinya setelah kehadiran Ayu.
******
Subuh baru saja berlalu saat Anjani merengek minta dibuatkan susu. Dan seperti biasa, Ayu dengan cekatan menuju ke dapur dan menyeduhkan susu untuknya. Di dapur dia melihat Nafisah sedang memasak.
“Emak sudah sholat subuh?”
“Sudah. Kamu sendiri sudah sholat?”
“Baru selesai mak, jamaah sama mas Bayu. Abah masih di mushola?”
“Iya. Sebentar lagi pasti pulang. Sawah sedang saatnya dipanen. Kalau kesiangan kasihan yang kerja. Panas” Ayu hanya menyimak tanpa menanggapi. Tapi di pikirannya pasti asik melihat orang panen di sawah. Pemandangan yang jarang dilhatnya karena kedua orang tuannya juga tidak memiliki sepetak sawah pun.
Saat Ayu kembali ke kamar, dilihatnya Bayu sedang memandangi foto Aisha yang terpasang di dinding. Cukup lama Bayu terpaku di depan foto itu. Sampai dia tidak menyadari bahwa Ayu sudah kembai ke kamar dan sedang membantu Anjani minum susu. Ketika sadar ada Ayu di kamarnya, Bayu meraih foto itu membawanya menuju lemari. Bayu berniat menyimpan foto karena tidak ingin Ayu merasa tidak enak.
“Ndak usah disimpan mas. Biarkan saja tetap di tempatnya. Kalau mas ingin memasang foto pernikahan kita, kita psang saja bersanding dengan foto Aisha” Bayu menatap Ayu dengan pandangan tak mengerti. Tak sedikitpun Ayu terlihat cemburu. Justru terlihat senyum yang sangat tulus di bibir Ayu.
“Kamu nggak keberatan foto itu ada di dinding?” Ayu mengeleng. Senyumnya masih mengembang.
“Biarkan saja seperti adanya. Aku tidak ingin mengubah apapun yang ada di rumah ini termasuk foto itu. Kalau mas ingin memasang foto pernikahan kita, kita pasang saja di sebelah foto Aisha. Suatu saat, kalau Anjani memerlukan penjelasan, kita bisa katakan padanya kalau wanita cantik itu adalah ibu mengorbankan hidupnya untuk melahirkannya. Dan yang duduk bersanding dengan ayahnya adalah ibu yang mengasuh dan membesarkannya dengan penuh cinta” Bayu tidak bisa berkata-kata. Hanya pelukan erat dan kecupan hangat di kening Ayu lah yang mengungkapkan kebahagiaannya memiliki istri yang penuh kasih dan pengertian seperti Ayu.
******
Malam belum terlalu larut. Baru sekitar pukul sembilan. Tapi suasana desa itu sudah sangat sepi.Tak banyak orang lalu lalang di jalan depan rumah mereka. Bayu dan Abduh sedang menonton TV, sementara Ayu sedang membantu Nafisah di dapur membereskan peralatan bekas makan malam. Selaian itu bekas makan para pekerja yang tadi memanen padi di sawah juga masih belum selesai dicuci.
“Ayu…sudah. Kamu istirahat dulu. Jaga kandungan kamu!” Nafisah mengingatkan Ayu karena melihatnya terlalu bersemangat bekerja.
“Ndak apa mak. Cuma cuci piring. Sebentar lagi selesai. Nanti kalau saya merasa capek, saya pasti berhenti. Emak duluan saja ke depan, nanti saya menyusul” Nafisah tidak tega meninggalkan Ayu sendirian mengerjakan pekerjaannya. Tapi kembali Ayu memintanya untuk meningalkan dapur.
“Titip air ya Yu. Nanti kalau sudah mendidih,tolong kamu seduhkan kopi untuk Bayu dan abahmu” Ayu mengangguk dan meneruskan kembali pekerjaannya hingga selesai. Setelah air mendidih, Ayu pun menyeduh kopi untuk Bayu dan Abduh, dan menyimpan sisa air mendidih di termos untuk persediaan kalau Anjani minta susu.
“Abah, mas Bayu, ini kopinya” Ayu meletakkan nampan berisi dua gelas kopi di meja ruang tengah dan bergabung dengan yang lain nonton OVJ. Sesekali terdengar Ayu ikut bersenandung jika sinden Giselle dan Winda melantunkan sebuah lagu.Tapi sebelum acaranya selesai, Abduh dan Nafisah sudah meninggalkan mereka dan masuk ke kamar. Panen hari itu memang melelahkan meski hasilnya menggembirakan.
Tak lama Ayu pun berdiri dan masuk ke kamar. Dia hanya ingin melihat Anjani dan setelah memastikan keadannya baik-baik saja, Ayu kembali keluar dengan mengenakan jaketnya. Ayu tidak kembali ke ruang tengah tapi membuka pintu depan dan duduk menyendiri di teras. Dibiarkannya udara dingin malam itu menyapanya. Langit memang sedang mendung dan mungkin akan segera turun hujan. Angin pun bertiup kencang. Tapi Ayu tetap di luar dan menikmati hembusannya.
“Kok disini sendirian? Aku pikir nyusul Anjani tidur?” sapaan Bayu mengejutkannya. Tapi tidak membuatnya bergeser sejengkalpun dari tempatnya duduk. Justru ditariknya lengan Bayu agar menemaninya duduk di teras.
“Kangen sama rumah?” tanya Bayu lagi. Ayu hanya menggeleng dan menyandarkan kepalanya di dada Bayu. Bayu menyambutnya dengan pelukan hangat penuh kasih sayang. Sesekali diciumnya rambut Ayu yang harum dan terurai lepas ditiup angin.
“Aku justru ingin, kita agak lama disini”
“Lho, kamu nggak ingin lihat ponakanmu lahir? Mbak Murti pasti senang kalau kamu ada di sana saat dia melahirkan”
“Tapi mbak Murti juga pasti mengerti kalau aku ingin tetap disini. Seorang istri sudah seharusnya mendampingi suaminya di manapun dia berada. Aku tahu, mas Bayu masih diperlukan di desa ini. Karena itu aku ingin selalu di samping mas Bayu”
“Kamu sendiri kan sedang hamil Ayu. Aku tidak ingin kamu mengalami nasib seperti Aisha. Disini jauh dokter dan rumah sakit. Bidan desa pun jauh tempatnya. Aku nggak mau kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya” Bayu mempererat pelukannya. Malam memang semakin dingin dan gerimispun mulai turun.
“Mas ndak usah khawatir. Aku percaya Allah akan menjagaku dan anak ini. Insya Allah dia akan lahir sehat dan selamat. Dan aku..? Aku akan berjuang keras agar tetap bia mengasuhnya setelah dia lahir. Aku ingin melihat dia bermain dengan kakaknya, Anjani. Mas Bayu bantu aku ya?”
“Pasti Yu. Insya Allah aku pasti bantu kamu melewati semua ini. Aku janji akan jadi suami terbaik buat kamu dan ayah terbaik buat anak-anak kita”
Ayu tersenyum bahagia. Penantian dan kesetiaannya selama ini tak sia-sia. Angin dan bunga akhirnya bersanding. Angin akan meniupkan wangi bunga ke segala penjuru. Meniupkan kesederhanaan dan kesahajaan sang bunga ke indra penciuman siapa saja. Mengabarkan kesetiaan tak terbatas yang akhirnya berbuah bahagia.(SELESAI)
Note : untuk melihat karya DYAH RINA yang lain monggo klik aja INI.