Tags
abduh, anjani, ayah dan ibu, ayu, bayu, cinta, guru teladan, mertua, nafisah, rio
Penulis : DYAH RINA
Bayu menyudahi lamunannnya tentang dua orang perempuan yang dicintainya. Terdengar suara rengekan Anjani dan nampak tidurnya gelisah. Dibaringkan tubuhnya di sisi Anjani dan diusap lembutnya dahi bocah itu.
“Sshhh….shhhh…shhh….Anjani mau apa sayang? Mau mimik atau mau pipis?” dibisikkannya pertanyaan itu di telinga Anjani. Anjani menggeliat. Rengekannya tak lagi terdengar dan kemudian membuka matanya dan dikerjap-kerjapkan.
“Mau mimik…..cucu, ayah….” Ditatapnya mata ayahnya yang nampak basah. Dan seperti tahu ayahnya sedang bersedih, Anjani lantas memeluk erat ayahnya. Kemudian jari mungilnya mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Bayu.
“Ayah dak boeh angis….kan udah behar….Jani pinta….dak angis….(Ayah gak boleh nangis kan sudah besar. Jani pintar gak nangis)” mendengar tutur anaknya yang polos, bukan terhenti, air mata itu justru menganak sungai. Tapi Bayu segera ingat anaknya minta dibuatkan susu.
“Sebentar sayang ya…ayah bikin dulu susunya. Sabar ya….” Diusapnya pipi chubby Anjani dan melangkah keluar dari kamar sambil mengusap air matanya.
Sampai di dapur, Bayu bertemu Nafisah ibu mertuanya yang sedang memasak.
“Anjani minta susu?” Bayu mengangguk sambil menyiapkan susu Anjani. Susu rasa madu yang sangat digemarinya.
“Iya mak. Memang sudah jamnya, setelah Subuh pasti minta susu”
“Sini, biar emak yang buatkan. Bayu temani Anjani saja” Nafisah menawarkan.
“Nggak usah mak, terima kasih. Biar Bayu saja. Biasanya juga Bayu yang buatkan. Emak teruskan saja memasak. Abah mana?” Bayu yang merasa tidak melihat ayah mertuanya menanyakan keberadannya.
“Masih di mushola. Mungkin sebentar lagi pulang. Kamu sudah sholat Subuh?”
“Sudah mak. Emak sudah?” Nafisah hanya mengangguk. Dalam hatinya ia merasa bangga pada menantunya. Bayu meninggalkan gemerlapnya kemewahan yang dimiliknya, dan membenamkan dirinya di pedalaman yang jauh dari keramaian. Bahkan menikahi anaknya yang hanya seorang perempuan kampung dan tidak sekolah tinggi. Sementara Bayu seorang sarjana yang kabarnya lulusan terbaik di kampusnya.
Satu hal lagi yang membuatnya bangga, dia bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi Anjani. Bayu tidak segan mengurus sendiri keperluan Anjani, mulai memandikan, mengganti popok, menyiapkan susu, menggendong dan mengajaknya bermain. Bayu hanya menyerahkan Anjani pada mertuanya jika dia pergi mengajar, atau melaksanakan program pribadinya memajukan desa tertinggal ini. Selebihnya, secapek apapun Bayu, pengasuhan Anjani dikerjakannya sendiri. Meski tak jarang, tengah asik mengajak Anjani bermain, Bayu justru tertidur karena kelelahan dan akhirnya Nafisah lah yang menggantikannya. Tapi setidaknya, Bayu berusaha keras untuk menjadi single parent yang bak bagi Anjani.
“Emak melamun?” Bayu menyentuh lengan mertuanya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Oh..ah…tidak. Emak nggak melamun. Sudah sana, cepat berikan pada Anjani susunya. Kasihan kalau harus menunggu lama” Bayu tersenyum. Sebenarnya dia tahu Nafisah sedang memikirkan sesuatu entah apa.
“Iya mak. Ini sudah siap. Bayu ke kamar dulu ya” Nafisah hanya mengangguk dan meneruskan pekerjaannya.
Sampai di kamar, diletakannya gelas berisi susu itu di meja kemudian diangkatnya tubuh Anjani dan diletakkan di pangkuannya.
“Sayang….mimik dulu yuuk. Nih sudah ayah bikinkan….” Bayu meraih gelas susu Anjani dan membantu bocah itu meneguk susunya hingga habis tanpa sisa. Setelah meletakkan gelasnya kembali di meja, Bayu tidak langsung membaringkan Anjani di ranjang tapi menidurkannya di pangkuannya. Dibiarkannya bocah berambut kriwil itu menenggelamkan wajahnya di dada Bayu. Bayu tak peduli meski baju koko yang masih dikenakannya itu akan ternoda susu karena Anjani belum sempat dilap mulutnya.
Tak lama Anjani pun kembali terlelap. Entah mimpi apa yang singgah dalam tidurnya. Yang jelas bibirnya nampak tersenyum dan senyum itu pun membuat Bayu ikut tersenyum.
“Lihat Aisha, anak kita mirip sepertimu. Semoga aku bisa mendidiknya menjadi anak yang sholeha seperti kamu Aish” Bayu tak lagi menangis meski kesedihan itu masih memenuhi seluruh rongga dadanya. Kemudian dibaringkannya Anjani di ranjang dan diselimuti karena pagi itu terasa begitu dingin. Setelahnya, Bayu mengganti baju koko dan sarungnya dengan pakaian olah raga. Pakaian yang paling pantas untuk jalan-jalan keliling desa seperti kebiasaannya sejak pertama kali berdiam di desa ini.
Namun belum lagi beranjak keluar kamar, Bayu mendengar hapenya begetar. Setelah dilihat, ternyata ibunya menelpon.
“Assalamu’alaikum. Ibu apa kabar?”
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah ibu dan bapakmu baik-baik aja. Sehat. Kamu sendiri bagaimana, baik-bak aja to?” perempuan paruh baya bernama Hartini itu menanyakan keadaan anaknya.
“Alhamdulillah, Bayu dan Anjani juga baik-baik aja bu. Baru aja tadi minta susu, terus sekarang tidur lagi” Bayu melangkah keluar kamarnya dan duduk di ruang tamu.
“Sudah pinter apa dia sekarang?”
“Alhamdulillah, sudah banyak ngomongnya. Terus suka nyanyi bu sama hapal beberapa doa harian kayak doa sebelum tidur dan bangun tidur sama doa sebelum dan sesudah makan. Tapi yaa namanya anak umur dua tahun, belum tepat ngucapkannya”
“Dia ndak pernah nanyakan ibunya? Anak umur segitu sudah mulai bisa mikir lho”
“Sering bu. Apalagi kalau lihat anak lain digendong atau main sama ibunya, pasti nanyain. ‘Ibu Jani mana ayah?’ gitu katanya”
“Terus kamu bilang apa?”
“Biasanya saya bilang kalau ibunya tinggal di rumahnya Allah dan nanti akan saya ajak nyusul ke sana. Kalau sudah gitu biasanya dia terus ndak nanya lagi. Tapi berat bu njelaskannya. Kalau sama anak yang lebih besar mungkin sudah bisa dikasih tau kalau ibunya meninggal. Tapi ini kan….” Bayu menggantung kalimatnya. Sungguh berat jika sedang mengenang Aisha dan saat dia meninggal.
“Lalu, bagaimana dengan amanah mendiang istrimu? Kapan kamu akan menunaikannya Bayu? Ini sudah dua tahun le, sudah terlalu lama. Jujur saja ibu ndak suka kamu jadi lelaki pengecut. Menikahi Aisha tanpa memberi tahu Ayu itu sudah sebuah kesalahan. Dan jangan menambah kesalahan baru dengan tidak menunaikan amanah Aisha. Dia sudah begitu baik dengan tetap mendampingimu meski ada foto Ayu di dompetmu”
Bayu hanya terdiam mendengar perkataan ibunya. Dia menyadari sudah begitu pengecut dengan tidak segera memberitahu Ayu statusnya dan sekarang pun belum juga menunaikan amanah Aisha untuk kembali pada Ayu.
“Bayu, asal kamu tahu le, sampai sekarang Ayu masih menunggumu. Dia belum menikah dan bahkan tidak menjalin hubungan dengan siapapun”
“Ibu tahu dari mana?”
“Murti kakaknya. Beberapa waktu yang lalu, ibu sempat ketemu dia. Tapi ibu juga merasa tidak enak menjelaskan keadaanmu yang sebenarnya. Ibu bisa saja melakukannya, tapi ibu ingin kamu sendiri yang bersikap jujur. Ibu hanya bilang kamu masih di pedalaman dan meneruskan program secara mandiri”
Bayu tidak tahu harus bilang apa. Perasaan bersalah itu kian dalam. Ibunya benar, dia seharusnya tidak menjadi pengecut dengan tidak berkata jujur pada Ayu.
“Ya sudah lah bu, nanti aku pikirkan lagi dan cari waktu yang tepat untuk bilang sama Ayu. Terus terang saja aku belum siap”
“Seorang pengecut tidak akan pernah siap sampai kapanpun untuk menghadapi kenyataan. Jangan menunda lebih lama lagi. Kamu katakana saja dulu pada Ayu. Dia menerimamu atau tidak itu urusan belakangan. Tapi setidaknya kamu sudah berusaha untuk menunaikan amanah istrimu. Tapi kalau menurut pendapat ibu, Ayu akan menerima kamu dan Anjani. Dia perempuan yang baik. Apalagi dia sangat mencintaimu. Ya sudah, ibu pamit dulu ya. Sun ibu buat Anjani dan salam untuk mertua kamu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” hanya itu yang mamapu diucapkan Bayu. Dia termenung di ruang tamu. Direnungkannya semua ucapan ibunya dan dalam hatinya membenarkan semua itu. Ia sudah terlalu lama menunda dan seharusnya tidak menunda lebih lama lagi. Tapi itulah satu sisi buruk seorang Bayu. Dia terlalu pengecut dan tidak berani menghadapi kenyataan yang mungkin saja tidak seperti yang dia bayangkan.
“Assalamu’alaikum!” suara pintu yang terbukan dn ucapan salam mengagetkan bayu. Ternyata ayah mertuanya yang baru pulang dari mushola.
“Wa’alaikumsalam. Abah” Bayu berdiri dan mencium tangan mertuanya.
“Abah lihat dari kaca jendela kamu sedang melamun. Apa yang kamu pikirkan? Telpon dari orang tuamu?” Abduh menebak saja karena melihat Bayu masih menggenggam hapenya.
“Iya bah. Ibu menelpon”
“Lantas, ada apa dengan kabar dari ibumu? Apa ada keluarga yang sakit?” Bayu menggeleng pelan. Wajahnya menunduk. Pikirannya kembali ke ucapan-ucapan ibunya di telepon tadi.
“Nggak bah, nggak ada yang sakit. Ibu hanya mengingatkan saya tentang amanah Aisha sebelum dia meninggal”
“Oh begitu. Kamu sendiri bagaimana, kapan kamu akan siap melaksanakan amanah itu? Sudah dua tahun Bayu. Kamu lihat sendiri kan, Anjani mulai sering menanyakan ibunya. Seandainya saja kamu segera menikahi gadis Jawa itu, mungkin Anjani akan terbiasa dengan ibu barunya. Dan akan lebih mudah menjelaskan kepadanya di mana ibu kandungnya jika dia sudah besar nanti”
“Abah kamu betul Bayu” Nafisah tiba-tiba muncul dari dapur dan membawa dua gelas kopi untuk suami dan menantunya.
“Kamu harus segera tunaikan amanah itu. kami sudah mengikhlaskan jika kamu akan membawa Anjani pergi dari desa ini, dan menetap di Jawa bersama ibu barunya. Dan emak pikir, disana lebih baik untuk Anjani. Fasilitas di sana tentu lebih baik dari sini. Pendidikan di sana juga tentu lebih bagus daripada di kampung terpencil ini. Lagi pula di sana kan ada eyangnya. Mereka pasti menyayangi Anjani seperti kami”
Bayu memandang ibu mertuanya. Nafisah nampak berkaca-kaca dan Bayu memaklumi ini. Aisha anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Kakak Aisha semuanya lelaki dan semuanya merantau di luar Kalimantan. Dan merelakan Anjani yang sangat mirip dengan Aisha untuk pergi, tentu bukan hal yang mudah bagi Abduh dan Nafisah.
“Nanti saja mak, bah, Bayu cari waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada Ayu dan keluarganya. Setidaknya Bayu akan kabari mereka dulu melalui telepon”
“Terserah kamu saja Bayu. Tapi intinya, emak dan abahmu merestui pernikahan kamu dengan gadis Jawa itu. Jangan ditunda lagi ya” Abduh menyeruput kopinya dan berlalu menuju kamarnya disusul oleh Nafisah yang mengikutinya masuk ke kamar.
Sementara Bayu masih termangu di ruang tamu. Dan setelah pembicaraan itu pun, Bayu tetap tidak melakukan apapun sampai beberapa bulan kemudian.
Sementara di tempat yang berbeda, komunikasi antara Rio dan Ayu pun makin akrab. Mereka memang lebih sering kontak melalui sms, tapi nampaknya keduanya menikmati itu. Ayu bisa mulai melupakan penantian tak pastinya akan Bayu dan Rio mulai terbiasa dengan sikap cuek Dhita. Mereka hanya tau, mereka saling cocok dan saling bisa menyemangati satu sama lain.
Seperti siang itu saat tengah memasak tiba-tiba Andro berbunyi dan satu pesan Rio masuk ke hape pintar itu
‘Masya Allah, para guru tuh kenapa ya? Waktunya ngajar kok malah ngobrol. Padahal muridnya semangat. Tapi gurunya udah telat datang eh malah seenaknya’ Ayu tersenyum membaca curhatan Rio.
‘Hari ini merangkap kelas lagi? Sabar mas, itulah perjuangan. Allah akan melihat itu dan akan memberikan hadiah teridah buat mas Rio’
‘Amiin. Semoga saya tetep bisa sabar dan ikhlas. Hari ini memang merangkap tiga kelas sekaligus. Tapi capek juga mbak’ Ayu kembali tersenyum membaca pesan Rio. Dia tidak menyangka pemuda yang sangat bersemangat itu bisa patah arang juga.
‘Semangat mas. Saya kenal mas Rio sebagai orang yang penuh semangat. Mas Rio sudah berjuang sejak kecil dengan keterbatasan yang mas miliki. Mosok sama yang kayak gitu aja nyerah. Semangat dan tetep senyum ya’
‘insya Allah. Makasih ya mbak’
‘sama-sama mas’
Dan omongan Ayu terbukti. Beberapa minggu kemudian seluruh media, baik elektronik maupun cetak lokal memberitakan tetang penobatan Haryo Kusumo sebagai guru teladan. Diknas nampaknya melakukan gebrakan dengan memberikan gelar itu pada seorang guru yang berstatus Guru Bantu, bukan PNS. Yah, barangkali saja dengan demikian akan menyadarkan mereka yang selama ini makan gaji buta dan hanya menjadi pengajar bukan pendidik.
Salam Ukhuwah, SYAIFUL HADI.